"Ya. Saya sudah tidak punya apa-apa untuk dimasak. Saya memasak batu hanya agar anak-anak mau tidur. Mereka juga kelaparan. Setiap mereka terbangun, saya selalu bilang 'masakannya belum matang', terus mereka tidur lagi."
"Innalillahi... kenapa sampai tidak punya apa-apa? Kenapa Khalifah sampai tidak tahu rakyatnya ada yang kelaparan?" Berkata seperti itu ia sambil menoleh ke arah rekannya, Jarud.
Jarud hanya menunduk.
"Mana peduli Khalifah Umar pada rakyat kecil seperti saya. Ia disibukkan oleh kepentingannya," jawab pemilik rumah.
"Baiklah kalau begitu. Kami pamit untuk membawa sedikit makanan untuk Anda dan anak-anak."
Tanpa menunggu jawaban, Amirul Mu'minin berjalan tergopoh menuju gudang Baitul Mal. Jarud harus sedikit berlari untuk mengikuti langkahnya.
Dari gudang Baitul Mal, Amirul Mu'minin mengambil sekarung gandum dan memikulnya.
"Ya, Amirul Mu'minin. Sebaiknya saya saja yang memikul gandum itu." Jarud menawarkan diri.
"Jarud, apakah kamu sanggup memikul dosaku di akhirat nanti?" jawab Amirul Mu'minin. "Lebih baik aku tersiksa sekarang dengan memikul karung ini, daripada tersiksa nanti di akhirat karena tidak peduli pada rakyatku sendiri."
Keduanya lalu berjalan menuju rumah si perempuan.
"Ibu, ini ada sedikit gandum dari kami. Masaklah, beri makan anak-anak sampai mereka kenyang."