Manusia memiliki kecenderungan alami untuk mencari kemuliaan. Sebagian mencarinya melalui harta, sebagian lainnya melalui pangkat dan kekuasaan. Ada pula yang mencarinya melalui ilmu dan amal ibadah. Namun, kemuliaan semacam itu bukanlah kemuliaan yang sejati. Ia bisa lenyap, bisa runtuh, dan bisa diambil kapan saja oleh Allah.
Begitulah menurut hikmah ke-96 dari Kitab Al-Hikam karya Ibnu 'Athaillah as-Sakandari.
"Jika engkau ingin mendapatkan kemuliaan yang tidak punah atau rusak, maka jangan membanggakan kemuliaan yang bisa rusak."
Kemuliaan yang hakiki dan abadi hanya berasal dari Allah. Oleh karena itu, jika kita menginginkan kemuliaan sejati, janganlah kita bergantung pada sesuatu yang fana, tetapi bergantunglah kepada Dzat Yang Maha Kekal. Â
Memang, dunia ini sering kali menipu manusia dengan ilusi kemuliaan. Kita melihat orang kaya dianggap mulia karena hartanya, pejabat dihormati karena jabatannya, ilmuwan dipuja karena ilmunya, dan orang yang rajin beribadah dipandang tinggi karena ketakwaannya. Padahal, semua itu bersifat sementara. Harta bisa habis, jabatan bisa dicopot, ilmu bisa terlupakan, bahkan ibadah bisa menjadi sia-sia jika dibarengi dengan rasa ujub (bangga diri).
Allah berfirman dalam QS. Al-Fatir (35:10):
"Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya." Â
Ayat ini menegaskan bahwa kemuliaan sejati hanya ada di sisi Allah. Jika kita menggantungkan kemuliaan pada hal-hal duniawi, maka kita sebenarnya sedang membangun istana di atas pasir yang bisa runtuh kapan saja. Â
Para ulama yang mensyarah kitab Al-Hikam memberikan pemahaman yang dalam tentang makna kemuliaan sejati. Â
1. Imam Ibn Ajibah dalam syarah Al-Hikam menjelaskan bahwa kemuliaan duniawi hanyalah ujian bagi manusia. Barang siapa yang bangga dengan hartanya, kekuasaannya, atau popularitasnya, maka ia telah tertipu oleh dunia. Sebaliknya, barang siapa yang menjadikan Allah sebagai satu-satunya sumber kemuliaan, maka ia telah menemukan kemuliaan sejati yang tidak akan rusak. Â
2. Syekh Ahmad Zarruq dalam syarahnya menambahkan bahwa kemuliaan sejati adalah ketika seorang hamba sadar bahwa ia tidak memiliki apa-apa selain Allah. Hamba yang benar-benar mulia adalah yang hatinya tidak terikat pada dunia, tetapi terikat pada Allah.