Mohon tunggu...
Mr. Hidayat
Mr. Hidayat Mohon Tunggu... Guru, penulis, dan pemikir

*📚 Moh. Urip Hidayat: Guru Bahasa Inggris dengan WiFi sebagai Lautannya 🌊* Di kelas, Moh. Urip Hidayat adalah seorang *kapten bahasa Inggris* yang membawa murid-muridnya berlayar melintasi samudra kata-kata, tenses, dan idiom-idiom unik. Namun, begitu bel pulang berbunyi, ia menjelma menjadi *peselancar digital*, meluncur bebas di ombak informasi internet, dari artikel edukatif hingga meme receh yang bikin ngakak. 😆 Dengan semangat seorang penjelajah, Pak Hidayat bukan hanya mengajarkan bahasa, tetapi juga bagaimana menaklukkan dunia dengan kata-kata. Baginya, grammar itu penting, tapi *humor dalam belajar lebih penting lagi*. Karena, apa gunanya bisa perfect tense kalau hidupnya selalu tegang? 😜 Jadi, kalau butuh guru yang bisa bikin belajar bahasa Inggris lebih asyik, interaktif, dan kadang diselingi joke khas bapak-bapak, Pak Hidayat adalah jawabannya. *Belajar boleh serius, tapi jangan lupa bahagia!* 🎉 Mengajar bahasa Inggris di SMPN 239, motivation and inspirational enthusiast.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sibuk Mengisi Administrasi, Lupa Mengisi Akal

5 Oktober 2025   06:24 Diperbarui: 5 Oktober 2025   06:24 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Chatgpt AI

Sistem pendidikan di Indonesia terus mengalami perubahan kebijakan, terutama dalam dekade terakhir, dengan hadirnya berbagai program seperti Merdeka Belajar dan Kurikulum Merdeka. Namun, perubahan tersebut sering kali lebih menonjol di tingkat administratif daripada transformatif di ruang kelas. Guru dihadapkan pada tumpukan formulir, laporan, dan asesmen yang kompleks, sehingga waktu dan energi yang seharusnya difokuskan pada pembelajaran justru tersedot oleh beban administratif (Suryadi, 2022).

Dalam konteks ini, muncul pertanyaan reflektif: apakah pendidikan kita benar-benar berorientasi pada pembelajaran, atau sekadar kepatuhan terhadap sistem birokrasi? Sebagaimana dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara (1936), pendidikan semestinya "menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya." Namun, ketika guru lebih banyak "menuntaskan" administrasi daripada menuntun murid, esensi pendidikan mulai terdistorsi.

Pendidikan Humanistik

Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed menegaskan bahwa pendidikan tidak boleh bersifat "banking system" --- di mana guru sekadar "menyimpan" pengetahuan dalam diri siswa yang pasif. Sebaliknya, pendidikan harus membebaskan, dialogis, dan kritis. Pandangan ini selaras dengan Gert Biesta (2010) yang menekankan tiga fungsi pendidikan: qualification (pembekalan keterampilan), socialization (pembentukan warga), dan subjectification (pembentukan subjek yang otonom).

Namun dalam praktik di Indonesia, fungsi subjectification kerap terpinggirkan oleh orientasi administratif, akreditasi, dan capaian numerik (Susanti, 2023). Akibatnya, pembelajaran kehilangan makna reflektif dan transformasionalnya.

Birokratisasi Pendidikan

Penelitian oleh Mulyasa (2021) menunjukkan bahwa guru di Indonesia menghabiskan lebih dari 30% waktu kerjanya untuk administrasi pembelajaran. Fenomena ini disebut "administrative overload" --- kondisi di mana profesionalitas guru diukur dari kelengkapan dokumen, bukan kualitas interaksi edukatif.

Sementara itu, Tilaar (2004) menegaskan bahwa birokrasi pendidikan yang terlalu sentralistik menciptakan "pendidikan yang teralienasi dari masyarakatnya sendiri." Dengan kata lain, sekolah lebih sibuk memenuhi format daripada memahami konteks.

Paradoks "Merdeka Belajar"

Program Merdeka Belajar secara konseptual menekankan kebebasan guru dan siswa dalam menentukan arah pembelajaran. Namun, implementasinya sering kali terperangkap dalam regulasi yang ketat dan sistem pelaporan daring yang rumit. Akibatnya, kebebasan yang dijanjikan hanya sebatas wacana.

Sebagaimana dicatat oleh Suryaman (2022), "Guru menjadi pelaksana kebijakan, bukan perancang makna." Hal ini menciptakan paradoks: guru dituntut kreatif, tapi dibatasi oleh format; siswa diminta berpikir kritis, tapi diarahkan pada capaian yang seragam.

Dampak terhadap Guru dan Siswa

Guru kehilangan ruang reflektifnya. Waktu yang seharusnya digunakan untuk merancang pembelajaran kontekstual justru habis untuk mengisi laporan kinerja. Siswa pun terjebak dalam pola belajar yang repetitif, berorientasi pada nilai, bukan pemahaman. Menurut Wibowo (2021), kondisi ini menumbuhkan "budaya kepatuhan" alih-alih "budaya belajar."

Dengan kata lain, sistem birokratis yang kaku telah menggeser makna pendidikan: dari proses memanusiakan menjadi proses menstandarkan. Ini bertentangan dengan gagasan Dewey (1916) bahwa pendidikan adalah rekonstruksi pengalaman secara sadar dan bermakna.

Menuju Pendidikan yang Memerdekakan Akal

Dibutuhkan reorientasi paradigma: dari kepatuhan administratif menuju pembelajaran sejati yang berbasis refleksi dan dialog. Guru harus diposisikan sebagai intellectual practitioner (Giroux, 1988) --- bukan sekadar pelaksana instruksi.

Reformasi pendidikan sejati bukan soal mengganti kurikulum, melainkan mengubah cara pandang terhadap manusia yang belajar. Artinya, sistem harus memberi ruang otonomi bagi guru dan siswa untuk berpikir, bereksperimen, dan membangun makna belajar sesuai konteksnya.

Birokratisasi pendidikan telah menciptakan jarak antara tujuan ideal dan praktik nyata pembelajaran di Indonesia. Meski kebijakan reformis seperti Merdeka Belajar menawarkan semangat perubahan, implementasinya masih terjebak dalam logika administratif yang kaku.

Pendidikan yang sejati mestinya membebaskan --- bukan membelenggu dalam formulir. Diperlukan keberanian struktural dan kultural untuk mengembalikan pendidikan pada hakikatnya: ruang dialog, refleksi, dan kemanusiaan. Sebagaimana Freire (1970) tekankan, "pendidikan adalah tindakan kebebasan." Maka, sudah saatnya kita berhenti sibuk mengisi formulir, dan mulai mengisi akal.

Daftar Pustaka

Biesta, G. (2010). Good Education in an Age of Measurement: Ethics, Politics, Democracy. Routledge.

Dewantara, K. H. (1936). Pendidikan. Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Dewey, J. (1916). Democracy and Education. Macmillan.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. Continuum.

Giroux, H. (1988). Teachers as Intellectuals: Toward a Critical Pedagogy of Learning. Bergin & Garvey.

Mulyasa, E. (2021). Implementasi Kurikulum dan Pengembangan Pembelajaran. Remaja Rosdakarya.

Suryadi, D. (2022). "Administrative Overload dalam Praktik Pendidikan: Studi Kasus Guru Sekolah Menengah." Jurnal Pendidikan dan Kebijakan, 14(2), 115--130.

Suryaman, M. (2022). Paradoks Merdeka Belajar: Antara Kebebasan dan Kepatuhan. Pustaka Ilmu.

Susanti, E. (2023). "Orientasi Numerik dalam Pendidikan Indonesia: Kritik atas Budaya Penilaian." Jurnal Kajian Pendidikan Kritis, 5(1), 45--60.

Tilaar, H. A. R. (2004). Manifesto Pendidikan Nasional. Grasindo.

Wibowo, T. (2021). "Budaya Kepatuhan dalam Sistem Pendidikan Indonesia." Jurnal Pendidikan Humaniora, 9(3), 220--230.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun