Sebagaimana dicatat oleh Suryaman (2022), "Guru menjadi pelaksana kebijakan, bukan perancang makna." Hal ini menciptakan paradoks: guru dituntut kreatif, tapi dibatasi oleh format; siswa diminta berpikir kritis, tapi diarahkan pada capaian yang seragam.
Dampak terhadap Guru dan Siswa
Guru kehilangan ruang reflektifnya. Waktu yang seharusnya digunakan untuk merancang pembelajaran kontekstual justru habis untuk mengisi laporan kinerja. Siswa pun terjebak dalam pola belajar yang repetitif, berorientasi pada nilai, bukan pemahaman. Menurut Wibowo (2021), kondisi ini menumbuhkan "budaya kepatuhan" alih-alih "budaya belajar."
Dengan kata lain, sistem birokratis yang kaku telah menggeser makna pendidikan: dari proses memanusiakan menjadi proses menstandarkan. Ini bertentangan dengan gagasan Dewey (1916) bahwa pendidikan adalah rekonstruksi pengalaman secara sadar dan bermakna.
Menuju Pendidikan yang Memerdekakan Akal
Dibutuhkan reorientasi paradigma: dari kepatuhan administratif menuju pembelajaran sejati yang berbasis refleksi dan dialog. Guru harus diposisikan sebagai intellectual practitioner (Giroux, 1988) --- bukan sekadar pelaksana instruksi.
Reformasi pendidikan sejati bukan soal mengganti kurikulum, melainkan mengubah cara pandang terhadap manusia yang belajar. Artinya, sistem harus memberi ruang otonomi bagi guru dan siswa untuk berpikir, bereksperimen, dan membangun makna belajar sesuai konteksnya.
Birokratisasi pendidikan telah menciptakan jarak antara tujuan ideal dan praktik nyata pembelajaran di Indonesia. Meski kebijakan reformis seperti Merdeka Belajar menawarkan semangat perubahan, implementasinya masih terjebak dalam logika administratif yang kaku.
Pendidikan yang sejati mestinya membebaskan --- bukan membelenggu dalam formulir. Diperlukan keberanian struktural dan kultural untuk mengembalikan pendidikan pada hakikatnya: ruang dialog, refleksi, dan kemanusiaan. Sebagaimana Freire (1970) tekankan, "pendidikan adalah tindakan kebebasan." Maka, sudah saatnya kita berhenti sibuk mengisi formulir, dan mulai mengisi akal.
Daftar Pustaka
Biesta, G. (2010). Good Education in an Age of Measurement: Ethics, Politics, Democracy. Routledge.