Mohon tunggu...
Untung Sukaedi
Untung Sukaedi Mohon Tunggu... Praktisi Akupuntur dan Kesehatan, Lingkungan dan Pembangunan -

Memahami perlunya Ilmu "nggulung jagad" dalam menempuh perjalanan "hidup" bersama-sama yang "menghidupi" untuk selalu ridho dengan "yang membuat kehidupan". Yaqin bahwa kebenaran berada pada "tengahnya galih kangkung", dan bahwa segalanya "pasti berlalu", menyambut "yang hadir", menikmati "yang ada", memaklumi "perpisahan" dengan penuh kesadaran sejati bahwa baik dan buruk akan selalu ada tidak pernah pesan atau dipesan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Praktik Agama yang Menyesatkan

10 Agustus 2011   09:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:55 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pemahaman tentang Agama mesti ditempatkan pada posisi tertinggi dalam hirarki "kebenaran" dalam mana Agama menduduki posisi kebenaran lebih tinggi dari kebenaran Filsafat. Beberapa tokoh pendidikan manyatakan bahawa bila Filsafat adalah "Emak"nya Ilmu, maka Agama adalah "Kakeknya" Filsafat.  Secara berturut-turut dari lapisan kebenaran paling bawah yaitu dari Tahu menjadi Pengetahuan- dari Mengalami menjadi Pengalaman-dari Ilmu menjadi Ilmu Pengetahuan dan Pengalaman, dari Ilmu Pengetahuan dan Pengalaman menjadi Filsafat- dari renungan Filsafati menjadi tertemukan/ditemukan Agama yang dianggap benar dan dibenarkan. Jadi "kebenaran Agama" merupakan kebenaran tak terbantahkan alias "mutlak" , tidak bisa dihindari, bersifat dogmatis dan memiliki kedudukan kebenaran tinggi bagi pemeluknya. Begitu tingginya kebenaran agama ini, karena datangnya dari langit (samawi), maka praktik Agama harus "diejawantahan" (diwujudkan, ditransfer) dalam perikehidupan sehari-hari. Pada pratiknya diakui bahwa tidak mudah untuk menjalankan Agama dengan pas, namun nyatanya hampir setiap orang mengejar tingkatan sukses beragama (latifah tertinggi) dengan berbagai cara dan tonggak capaiannya (milestone) pun berbeda-beda. Antara lain ada yang ingin masuk surga di akherat kelak, ada yang ingin disayang Tuhan,  ada yang ingin sekedar kumpul-kumpul di Majils Ta'lim atau Gereja, dll. Dus, karena tingginya kebenaran agama ini, orangpun menempuh jalan masing-masing sesuai Imamnya atau Pimpinannya. Secara esensial, dedikasi agama harus dapat diwujudkan ke dalam perilaku sehari-hari sebagai budipekerti yang luhur dan memberi manfaat bagi diri, tetangga, masyarakat, bangsa dan negara. Karena Agama punya anak Filsafat, dan Filsafat punya anak Ilmu, sedangkan Ilmu itu adanya di amal-perbuatan, maka semestinya orang yang menjalankan agamanya atau beriman dan bertaqwa dengan landasan agama, maka amal-perbuatannya harusnya  baik. Bila dalam kehidupan sehari-hari banyak orang tampak "tidak cocok", antara ucapan, lebel agama yang digendong, serta tindakannya, maka PASTI ada yang salah. Pastilah agama hanya menjadi "seremonial", agama hanya sebagai "kedok", agama hanya sebagai "payung politik" tidak terhubungan dengan Falsafah hidup dan Ilmu Pengetahuan dan Pengamalaman hidup dalam kehidupan. Bangsa ini menjdadi "bejat" lantaran Agama digunakan sebagai tameng perjuangan ambisi pribadi untuk menjadi seorang tokoh yang dianggap hebat di depan publik. Tidak jarang Imam Agama yang berani "mengalihkan kiblat" yang harusnya berkiblat kepada Allah, tetapi dijadikannya murid-muridnya, disugesti, untuk berkiblat kepadannya. Kelembagaan sosial agama hanya mengurusi umat, dan terpisah secara eksklusif dari usaha-usaha perekonomiaan dan kebudayaan bangsa yang didasari oleh "falsafah nilai luhur" dan "ilmu".  Bila demikian maka Agama lepas dengan Falsafah dan bercerai dengan Ilmu. Praktik agama jadi menyesatkan.  Pantas masyarakat kehilangan arah tujuan hidup, bingung mencapai kondisi masyarakayt yang damai, adil dan sejahtera. Apalagi negara "tidak urus" dan pejabatnya memberikan contoh "buruk"  kepada warga bangsa. Tuhan dibutakan (perhatikan  korupsi di segala sektor), agama dipolitisir (banyak partai yang mengusung ideologi agama), tokoh masyarakat berbenturkan (banyak partai dan jutaan ormas). Saya percaya bila saja Agama "sebaris/inline" dengan Falsafah hidup yang berakar dari budaya, didasari oleh Ilmu yang "empirical testibillity" atau dapat dilihat secara  kasat-mata melaui perbuatan bukan hanya OMDO (omong doang), maka bangsa ini akan "setara majunya' dengan bangsa lain. Coba perhatikan, misalnya M. Nazaruddin sudah dipecat dari Partai atau mengundurkan diri dari DPR RI karena KKN. Kenyataannya ? Sampai tulisan ini dibuat ternyata "bukti pecat"-nya tidak ada dan akan segera menyusul. Ini juga "praktik agama yang menyesatkan". Agama harus membekas dalam kehidupan dan perilaku sehari-hari, Saudaraku. Just like a Science LOGIKO-HIPOTETIKO-VERIFIKATIF, apa yang terakal dan tertanyakan harus bisa diverifikasi kebenarannya. No OMDO anymore.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun