Magelang - Dalam beberapa tahun terakhir, teknologi pirolisis menjadi perbincangan hangat sebagai solusi pengolahan sampah plastik. Banyak pihak mempromosikannya sebagai cara cepat dan efektif untuk mengubah limbah plastik menjadi bahan bakar alternatif. Namun, di tengah euforia itu, muncul pandangan kritis dari seorang akademisi UNIMMA.
Prof. Dr. Muji Setiyo, M.T., peneliti senior dari Center of Energy for Society and Industry (CESI) Universitas Muhammadiyah Magelang (UNIMMA), menyampaikan kajian objektifnya dalam sebuah editorial ilmiah yang baru-baru ini dipublikasikan dalam jurnal Mechanical Engineering for Society and Industry tepatnya di Vol 5 No 1 (2025).
Dalam artikelnya yang berjudul "Pyrolysis for plastic waste: Environmental goals vs business interests, which is more realistic?", Prof. Muji mempertanyakan klaim-klaim populer yang sering muncul dalam laporan media, publikasi teknologi komersial, dan diskusi publik yang menyebutkan bahwa satu kilogram plastik dapat langsung diubah menjadi satu liter bahan bakar. Terlebih, klaim tersebut menyatakan perbandingannya 1:1 (satu banding satu), yang harus diverifikasi labih lanjut, tegasnya.Â
Mengkritisi Klaim dan Menunjukkan Fakta
Menurutnya, klaim tersebut tidak memperhitungkan perbedaan antara satuan massa dan volume serta karakteristik fisik bahan. Selain itu, hasil pirolisis plastik tidak hanya berupa minyak, melainkan juga gas (syngas) dan residu padat (char). Belum lagi, kualitas minyak hasil pirolisis belum tentu sesuai dengan standar bahan bakar kendaraan dan memerlukan proses penyempurnaan lebih lanjut. "Banyak masyarakat yang terlanjur percaya bahwa pirolisis adalah solusi instan. Padahal secara teknis dan ekonomis, banyak hal yang perlu dikaji lebih dalam," jelas Prof. Muji.
Antara Misi Lingkungan dan Peluang Bisnis
Prof. Muji tidak menampik bahwa pirolisis punya potensi besar, baik dari sisi lingkungan maupun bisnis. Di satu sisi, teknologi ini mendukung ekonomi sirkular dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Hasil pirolisis seperti minyak dan gas bisa menjadi sumber pendapatan, dengan nilai pasar yang cukup menjanjikan.
Namun, ia mengingatkan bahwa modal awal dan biaya operasional pirolisis cukup tinggi, tergantung skalanya. "Skala kecil justru paling rentan rugi karena biaya per tonnya membengkak," tambahnya. Oleh karena itu, beliau menekankan pentingnya analisis kelayakan finansial yang matang sebelum mengadopsi teknologi ini secara komersial.
Antusias Tapi Tetap Kritis
Dalam kesimpulannya, Prof Muji Menyampaian bahwa meskipun pirolisis memang menawarkan peluang ekonomi melalui hasil-hasil bernilai seperti minyak pirolisis dan gas sintesis (syngas), misi utamanya harus tetap berfokus pada lingkungan.Â
"Bisnis boleh berkembang, tapi jangan sampai mengaburkan niat awal kita untuk menyelamatkan lingkungan," tuturnya.
Tujuan akhir dari pirolisis plastik seharusnya bukanlah keuntungan, melainkan kebutuhan mendesak untuk mengurangi polusi plastik dan memitigasi kerusakan ekologi. Industri pengelolaan sampah yang benar-benar sukses idealnya justru akan menghadapi "masalah" berupa kekurangan bahan baku plastik, karena masyarakat telah berhasil mengurangi konsumsi dan produksi sampah plastik. Oleh karena itu, kepentingan bisnis dalam pirolisis harus diseimbangkan secara hati-hati dengan tujuan lingkungan, memastikan bahwa keuntungan ekonomi tidak menutupi tujuan utama untuk melindungi planet ini. (Ening Widihastuti)
cesi.unimma.ac.id
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI