Mohon tunggu...
Uniek Widyarti Nugrahani
Uniek Widyarti Nugrahani Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menyukai hujan, nyala lilin dan secangkir green tea

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Catatan Bu Tari

29 November 2022   18:38 Diperbarui: 29 November 2022   18:45 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 

Senin, harusnya menjadi sebuah Senin yang menggebu. Tak ada ragu, tak ada pilu. Sebuah hari dimana sudah sepantasnya para jiwa menggeliat penuh dengan semangat. Untuk memperoleh apa yang yang pantas didapat. Namun, banyak diantara kita terjebak pada perasaan takut akan kegagalan dan was-was akan keberhasilan. Benarkah? Selanjutnya tugas kita adalah menaklukkan perasaan itu, lalu memenangkan. Karena sungguh masa depan kita layak diperjuangkan.

                                                                                    Purbalingga, 12 Agustus 2019

                                                                                    #Untuk esok dalam pertemuan pertama

***

Ruang kelas 9H terpisah dari gedung kelas lain, berada di sudut sekolah, bersebelahan dengan ruang OSIS yang jarang digunakan. Tak seperti kelas-kelas lain, taman depan kelas tampak gersang dan tak tertata. Sensivera yang ditata rapi mengering, sirih gading yang menggantung dalam enam pot daunnya menguning, satu-satunya tanaman yang terlihat sehat hanyalah kaktus koboi yang lurus tinggi menjulang.

Seperti biasa kelas 9H ramai dengan canda ria penghuninya. Celoteh gokil dari Adib, disambut pantun jenaka dari Gusti. Julia dan Dewa saling berbalas melempar kertas. Bukan itu saja, disudut kanan, gelak tawa  anak-anak perempuan membuat seisi ruang semakin riuh. Rian, dengan atasan OSIS  yang dikeluarkan dari celana yang bersabuk,  berada di depan papan tulis, ia memegang sapu lantai. Berdiri dengan kaki terbuka, menggerak-gerakan kepala.  seolah sedang berada diatas panggung. Mulutnya membuka, terlihat ia tengah begitu menikmati aksinya. Sementara siswa yang lain tertawa terpingkal melihat apa yang Rian lakukan.

Semua berhenti ketika seorang guru perempuan muda  membuka pintu. Wajah-wajah siswa yang awalnya ceria, kini berubah muram. Jam pelajaran pertama dimulai, sebuah pelajaran yang paling di benci oleh kelas ini. Guru muda itu berhenti dan berdiri dengan menebar senyum untuk yang pertama kali. Rian segera melangkah dari lantai kelas yang lebih tinggi dari lantai lainnya,. Adib bergegas turun dari duduknya di meja. Gusti menurunkan lutut yang ia tekuk diatas kursi. Remaja perempuan dengan saling memandang akhirnya membubarkan diri dari kerumunannya di sudut belakang.  Julia dan Dewa tak jadi melempar  sebuah gulungan besar kertas yang sengaja  disobek dari buku-buku mereka.

Kelas dalam keadaan kotor. Berantakan.

Guru berhijab abu masih berdiri dengan membawa beberapa buku yang ia pegang di tangan kiri. Kini, semua siswa duduk di kursi masing-masing. Rian, mendekatkan bahunya ke Adib "Siapa dia?" bisiknya

"Entahlah" jawab Adib

Langkah perempuan muda itu tenang tapi penuh percaya diri. Dia menuju ke meja guru. Tak lantas ia duduk. Ia masih bertahan berdiri dan meletakkan buku di meja.

"Sial, gagal" ucap Rian lirih

Adib tersenyum, "Tunggu saja"

Perempuan yang ada di depan menyapu seisi kelas dengan matanya yang jernih. Ia kembali tersenyum.

"Assalamualaikum, Good morning"

Kelas masih sepi, tak ada respon sedikitpun. Yang tampak dari wajah-wajah mereka adalah raut enggan yang teramat sangat, tanpa semangat bahkan banyak diantara mereka yang sibuk menggerakkan pulpen, saling berbisik-bisik, bahkan ada yang sengaja meletakkan kepala di meja.

"Ibu ulangi ya anak-anak. Assalamualaikum, selamat pagi anak-anak," tak mendapat jawaban, guru tinggi semampai ini melangkahkan kakinya, lalu berdiri tepat di meja terdepan. meja Rian dan Adib.

"Baiklah, perkenalkan saya  bu Tari, guru baru pengganti Bu Lia, guru Bahasa Inggris kelas ini."

"Wah guru baru, sasaran empuk nih" suara salah satu siswa dari kursi belakang.

Siswa-siswi lain tertawa.

Bu Tari tersenyum, ia menuju pintu. Banyak diantara siswa mengira, guru baru tersebut akan pergi meninggalkan kelas. Tidak kuat menghadapi kejahilan anak-anak di kelas ini, seperti guru-guru yang lain. Hanya beberapa detik diluar, bu Tari kembali dengan membawa gitar di tangan kanan.

Bu Tari menarik bangku kosong yang letaknya di sebelah Gusti, menuju ke depan.

"Kali ini kau gagal Ri"  Adib berbisik

Rian tak mempedulikan apa yang dikatakan Adib.

Petikan gitar sang guru mulai terdengar

Aku mohon sayangilah
Diriku di dalam hidupmu
Dan kamu jangan kasar-kasar lagi
Dengarlah pujaan hati

Aku mohon mengertilah
Kita jangan bertengkar lagi
Hadapi semua dengan dingin hati
Dengarlah pujaan hati

 

Suara mendayu bu Tari membuat kelas hening. Semua mata memandang pada bu Tari yang tampak hikmat bernyanyi sembari lentik jari-jarinya memetik gawai gitar. Tepuk tangan riuh mengisi ruang kelas setelah bu Tari menyelesaikan lagu Jangan Bertengakar Lagi.

"Anak-anak, kenapa kalian tepuk tangan? Apakah karena kalian suka dengan lagunya? Atau karena kalian suka dengan penyanyi aslinya?. Terima kasih karena kalian telah mengapresiasi dengan baik. Pun demikian yang saya harapkan ketika kalian mengikuti pelajaran yang saya bawakan." Saat bicara pun suara Bu Tari terdengar merdu.

Semua siswa terlihat tersenyum, mata mereka berbinar. Tapi tidak dengan Rian. Ia satu-satunya yang masih saja menggerutu.

"Hei kalian semua lupa pada komitmen kita" Rian berdiri melanjutkan bicaranya, "Percuma bu, kelas kami hanya kumpulan anak-anak bodoh" Badannya memutar memandang teman-teman, "ya kan teman-teman?"

"Betul bu, kelas kami kelas terakhir dengan nilai-nilai paling rendah" Toni berdiri

Kelas kembali riuh. Diantara mereka banyak yang mengangguk.

"No, you have the ability! Kalian cerdas. Kalian semua bisa. Karena saya yakin kalian punya kecerdasan dalam hal berbeda" Mata jerih bu Tari memandang seluruh wajah di kelas ini, mencoba menanamkan sebuah harapan.

"Kita cerdas bu? Cerdas dari mana? Ulangan kami selalu dibawah lima" suara Esti dari bangku ke tiga.

"Percayalah, Tuhan tak pernah menciptakan produk yang gagal. Dan kalian punya kemampuan. Mari buktikan!" Suara bu Tari lantang, penuh percaya diri

"Yang pertama, kenapa saya tidak duduk di kursi guru? Karena saya tahu di atas kursi itu ada banyak lem. Dan jika saya duduk diatasnya, yang saya dapati kalian akan tertawa bahagia. Betul?. Itu kecerdasan saya, bisa membaca pikiran kalian" Bu Tari menghentikan langkahnya.

Hahahaha...semua siswa tertawa.

Nampaknya mereka sudah mulai tertarik dengan gaya mengajar bu Tari untuk untuk pertemuan pertama ini.

Kemudian bu Tari meminta Rian, maju. Gitar cokelat tua ia berikan pada Rian. Ia meminta Lia berdiri lalu menyanyikan sebuah lagu dengan iringan gitar.

Tepuk tangan kembali mewarnai suasana ruang kelas.

"Bu inilah kami. Banyak guru bilang otak kami di dengkul. Kami tidak bisa matematika, bahasa inggris, kami bisanya cuma senang-senang bu" Ungkap Latif

"Oke, nanti bisa kita simpulkan"

Bu Tari, kembali menuju ke pintu, ia terlihat mengambil sesuatu.

"Julia, kamu maju kedepan!"

"Bu Tari baru masuk, kenapa sudah tahu nama kami?" Tanya Adiib

"Itu karena bu Tari cerdas bro. Sepertinya bu Tari mempelajari siapa kita sebulum masuk kesini" Gusti menjawab pertanyaan Adib

Beberapa siswa tertawa, seolah ini merupakan sebuah kelucuan yang harus ditertawakan.

"Kamu, memang cerdas Gusti. Dengan cepat kamu bisa memberi jawaban tepat pada Adib. Seperti balasan pantunmu ke Adib. Itu artinya kamu punya kecerdasaan verbal yang luar biasa" Bu Tari mendekat ke Adib dengan acungan jempolnya.

Para siswa saling memandang dan tersenym.

"Kembali ke Julia, silahkan tuang imajinasimu disini" BuTari menyodorkan kanvas berukuran 30x40 cm lengkap dengan pewarna dan kuas.

Sebuah lukisan natural hasil goresan Julia mendapat aplouse dari teman-teman.

"Tiga contoh nyata yang kalian lihat pagi ini adalah fakta bahwa kalian memiliki kecerdasan. Dan saya tahu Gita, kamu pandai menari, Rendi kamu jago basket itu artinya kalian memiliki kecerdasan motorik yang tinggi. Saya tahu, semua yang berada dikelas ini memiliki kecerdasan di bidangnya masing-masing. Jadi kesimpulan pagi ini adalah tidak ada siswa yang bodoh."

Banyak siswa saling memandang, tersenyum, mengangguk, mengiyakan.

Wajah-wajah ceria terlihat dari penghuni 9H. Mereka sumringah. Mind set yang selama ini membuat mereka tidak percaya diri mulai runtuh. Pemikiran yang selama ini membuat mereka mencari perhatian dengan tingkah polah, sedikit demi sedikit terkikis.

"Oke, masuk ke materi. Pagi ini kita belajar information report text."

 Bu Tari mengambil gitarnya, ia mulai memetik gitar dengan nada lagu Lily.

            It can grow up to 30 m high. 

They have a single cylindrical trunk. 

At the top of the trunk there are pinnate leaves. 

They are about 3 to 4 m long and the pinnate 60 to 90 cm long. 

The fruit is oval and the diameter is about 30 cm long. 

It has thick husk and a hard shell. 

Inside the shell there is white meat and sweet liquid.

"It's about coconut tree Miss" suara Ria keras

"Great" Bu Tari mendekat Ria dan mengacungi jempol

Bel ganti pelajaran berbunyi.

"So, could you please make some information report texts about your class. Surely your new class filled with a million stars!"

"Siap Miss" Sahut Rian

"Sure, I will" jawab Eko dengan mantap

"Tak sabar menunggu hari Kamis, Miss" Julia menyambut tugas dengan semangat.

"Terima kasih atas apresiasi kalian. Satu hal lagi. Presentasikan tugas dari saya dengan cara kalian, Rian silahkan presentasikan tugas sambil bernyanyi, Julia silahkan menerangkan sambil menggambar. Dan yang lain silahkan sesuai passion kalian semua!"

"Wah, keren" seru anak-anak dikelas.

 

Suasana menghangat. Senyum merekah di setiap sudut bibir remaja berseragam putih biru. Pagi ini tak ada lagi mendung dan muram di kelas yang berada di sudut dan benar-benar menyudut. Kastanisasi kelas bukan lagi menjadi peredup semangat karena kini semangat para siswa menyala, mereka percaya pada diri mereka bahwa mereka pasti bisa.

Bu Tari, bukan guru senior, ia hanya seorang guru baru, yang menerima tantangan dari bapak kepala sekolah. Akhirnya ia bisa melaksanakan tugas untuk yang pertama kali. Dan diberi kepercayaan untuk mengajar kelas 9H yang selama ini dikenal sebagai kumpulan anak-anak bodoh dan nakal. Dengan pengetahuannya tentang multiple intelegence, ia selalu memandang kemampuan siswa dengan cara pandang yang berbeda. Kini ia belajar menjadi gurunya manusia yang memuliakan manusia dengan menghargai setiap kelebihan dan kekurangan siswa-siswinya. Begitulah seharusnya kita.

 

 

                                                Ditulis oleh Uniek di Kampung Air, Agustus 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun