Malam itu Ray merapikan buku usai mengerjakan tugas. Dia kemas lalu diselipkannya ke dalam tas.
Kupandangi dalam kecamuk angan, adegan demi adegan. Benakku beradu tanya. Tentang cerita Bu Lia guru kelasnya.
"Tadi Ray dapat surat cinta Bu."
"Wah!"
"Coba nanti Ibu tanya. Sebab dia terlihat biasa. Dan surat itu dikembalikan pada si pengirim. Saya penasaran jawaban apa yang dikirim?"
"Baik nanti saya tanyakan. Saya pun penasaran."
***
"Ray, tadi bu guru bilang kamu dapat surat."
"Iya."
"Dari siapa?"
"Tuu temen kelas sebelah."
"Emang isinya apa?"
"Dia tanya, cintaku berapa persen untuknya?"
"Hah! Terus?"
"Terus aku jawab 10%."
Ray dengan santai kembali merapikan buku. Pikiranku masih saja terpaku. Seakan ikatan tanya sigap menunggu.
"Kok 10%?"
"Ya, Ibu bilang cinta pada porsinya kan? Jadi 10% cinta teman. Lalu cinta ibu bapak dan lebih besar pada-Nya."
"Oh, so sweet kau Nak."
***
Ray yang beranjak remaja. Pola pikir pun berbeda. Saatnya aku lebih mendampinginya. Tentu tak sama ketika dia usia belia.
Cinta tak salah. Dikenal sejak dini, lumrah. Namun tak mudah mengenalkan cinta pada porsinya. Ketika beranjak remaja. Saat mulai menapak cinta sesungguhnya.
Kiranya cinta pada porsinya berkata. Dialah cinta bermula. Dia pulalah porsi terbaik kita. Hamba terkasih-Nya. Dan Ray mulai memahaminya.
Niek~