Mohon tunggu...
Unggul Sagena
Unggul Sagena Mohon Tunggu... Konsultan - blogger | educator | traveler | reviewer |

Asia Pacific Region Internet Governance Forum Fellow 2021. Pengulas Produk Berdasarkan Pengalaman. Pegiat Literasi Digital dan Penyuka Jalan-Jalan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Masih "Setengah Bebas", Media dan Pemerintah Produksi Hoaks?

15 November 2017   18:06 Diperbarui: 15 November 2017   18:30 1331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
skor kebebasan internet 2017 (freedomhouse.org)

Laporan Freedom House tahun 2017 ini menarik. Seperti biasa, kita sudah tahu Indonesia selalu pada urutan tengah tidak jelas alias geje. Partly Free, posisi yang mentok kecapekan karena jalan panjang berliku untuk menjadi "Free".  Soal Freedom House dan ukuran-ukurannya silakan baca di tekape.

Walau tak seperti Venezuela, Filipina dan Turki yang menurut Freedom House diantara 30 negara yang pemerintahnya "mempekerjakan" pasukan pembentuk opini media sosial dan internet pada umumnya, guna kepentingan pemerintah.

Namun demikian, kejanggalan penyanderaan di Papua sebagaimana salah satunya dibahas Mas Yon Bayu di Kompasiana beberapa hari lalu membuat kita terkesiap. Bahwa energi "anti hoax" yang bersama-sama masyarakat dalam beberapa tahun ini dibangun oleh pemerintah bersama-sama, menjadi membingungkan.

Rilis Pers dari Gema Demokrasi hari ini mengindikasikan bahwa Indonesia juga masih kental dengan nuansa hoax, terutama media yang "pro pemerintah" sebagaimana kondisi di negara lain seperti yang menurut Freedom House menjadi andalan pemerintah di beberapa negara seperti Suriah, Etiopia dan yang terburuk, China.

Selain tiga negara pemberangus kebebasan internet diatas, Freedom House juga menemukan beberapa fakta lain yaitu :

Manipulasi online dan taktik disinformasi berperan penting di 18 negara bahkan di negara seperti Amerika Serikat pada pemilihan yang menaikkan Donald Trump sebagai presiden di negeri paman sam tersebut.

Taktik disinformasi ini juga berkontribusi dalam tujuh tahun menurunnya kebebasan berinternet dimana media independen dan pegiat hak asasi manusia diserang baik secara fisik maupun psikis di dunia maya.

Kemudian, beberapa negara melakukan pembatasan serius mengenai penggunaan internet terutama pada daerah dimana pengguna ponsel internet adalah kaum minoritas agama tertentu dan etnis tertentu.

Di Indonesia. Contoh berita "penyanderaan" 1.300 warga Desa Kimbely dan Desa Banti oleh kelompok bersenjata (KKB) memang membuat bingung. Ini jelas jadinya HOAX. Sebab, menurut Rilis Pers Gema Demokrasi, jejaring 80 organisasi masyarakat sipil dan individu di Indonesia, menyebut bahwa di Mimika sendiri, Kapolres Mimika AKBP Victor Dean Mackbon yang diwawancarai oleh jurnalis tagar.id pada 9 November 2017, telah mengklarifikasi bahwa sebenarnya tidak ada penyanderaan terhadap warga Desa Kimbely dan Banti.

Pun Pejabat Humas Polda Papua, Ajun Komisaris Besar Suryadi Diaz kepada BBC pada hari Minggu, 12 November 2017. Suryadi menyebut para anggota TPN-OPM tidak menyandera penduduk, melainkan bersiaga di sejumlah titik yang menjadi pintu utama Kampung Banti dan Kimbely.

Media (besar) yang menggunakan penyanderaan dipelbagai kanal dianggap tidak mengindahkan kode etik jurnalistik karena sejumlah media besar baik itu televisi, online/digital, maupun cetak masih kerap menyatakan peristiwa tersebut adalah penyanderaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun