Di era globalisasi ini dunia digenggam oleh kaum kapitalis yang memiliki kepentingan-kepentingan tertentu untuk menguasai dunia dengan cara mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Menurut perspektif kaum kapitalis, negara yang maju dan sejahtera adalah negara yang memiliki sumberdaya alam (SDA) yang melimpah. Itulah yang menjadi tolak ukur bagi suatu negara. Secara teori sosiologi, sikap inilah yang kemudian dianut oleh negara Indonesia untuk memajukan negaranya. Namun, bagaimana realitasnya? Apa implikasinya? Sikap pemangku kepentingan yang yang seharusnya demokratis berubah menjadi kapitalis dan bersikap individualis sehingga memarginalkan asas humanis serta ekologis. Artinya, mereka lebih mencari dan mengumpulkan kekayaan hanya demi memperoleh benefit serta profit bagi diri sendiri tanpa memikirkan implikasinya bagi manusia dan alam ciptaan lainnya.
Dalam konteks Papua, alam bukan hanya sebagai penopang hidup manusia melainkan alam di Papua diyakini sebagai ibu yang melahirkan, menyusui, hingga membesarkan manusia serta menjamin kehidupan masyarakat Papua. Maka, alam bagi orang Papua adalah sentral kehidupan. Tanpa alam manusia asli Papua kehilangan arah hidup. Secara psikologis, Â jiwa masyarakat akan terganggu dikarenakan kerusakan kosmos kehidupan, yakni itu sendiri alam.
Bagaimana dampaknya terhadap eksistensi kehidupan masyarakat Papua ?
Implikasi globalisasi-kapitalisme terhadap kerusakan ekologi di tanah Papua bisa kita disaksikan dan menilai  dengan pembukaan PT. Freeport Indonesia yang disusul oleh perusahaan lainnya yang tak henti-hentinya merusak alam Papua secara masif baik itu hutan, maupun laut. Aksi sosial ini menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat yang eksistensinya berada di kawasan perusahaan. merupakan realisasi propaganda kapital oleh isu global terhadap bangsa Indonesia sehingga kaum borjuis akhirnya melahirkan neo-kapitalisme. Disisi lain, secara politis perusahaan Freeport merupakan salah satu upaya presiden Soeharto dalam mencari dukungan diplomasi luar negeri melalui Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk mengintegrasikan Papua ke dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari tangan kolonial Belanda, maka presiden Soeharto resmimembuka Penanaman Modal Asing (PMA) di Tembagapura (kabupaten Mimika) pada 17 April 1967 (walaupun realisasinya mulai 1972) dengan izin beroperasi 30 tahun bagi negara-negara diplomat dengan syarat membantu Indonesia untuk mengusir kolonial Belanda. Namun secara perspektif masyarakat Papua, justru aksi tersebut menjadi mimpi buruk bagi masyarakat Papua yang terus berkesinambungan hingga detik ini. Mengapa dikatakan sebagai mimpi buruk? Tentu saja, karena berbagai alasan: pertama, secara geografis, lokasi pertambangan Freeport terletak di wilayah adat suku Amungme ( suku asli Mimika-Papua Tengah). Seketika pertambangan mulai bereksploitasi kehidupan masyarakat mulai tidak kondusif. Alam yang diyakini sebagai Ibu diperkosa oleh eksavator, meninggalkan luka batin yang mendalam bagi warga Amungme. Kedua, tindakan PMA tidak kooperatif antara pemerintah, investor, dengan masyarakat adat setempat. Izin usaha pertambangan Freeport ini tidak dilakukan melalui dialog yang inklusif sehingga hasil kapitulasi tidak berdasarkan konspirasi serta konsensus yang transparantif.
Hal ini ditambah dengan tenaga kerja dalam perusahaan yang pada awal-awal tidak ada Orang Asli Papua (OAP), khususnya warga suku Amungme sendiri yang dilibatkan dalam pekerjaan tersebut.
Ketiga, masyarakat Papua menilai bahwa tindakan raksasa tersebut tentu merusak ekologi tanah Papua. Dimana masyarakat Papua menilai bahwasanya perusahaan Freeport akan merusak lingkungan alam, manusia itu sendiri serta ekosistem ciptaan Tuhan lainnya yang eksistensinya wajib dihormati dan dijunjung tinggi. Dan realitanya terjadi, dimana masyarakat terpaksa meninggalkan hutan adat sehingga terjadi disintegrasi sosio-kosmos.
Melalui jejak historisnya PT. Freeport Indonesia, masyarakat Papua menilai bahwa kehadiran perusahaan lainnya juga bukan hanya sebatas kepentingan ekonomi tetapi lebih dari itu merupakan bentuk agenda politik jangka panjang bagi bangsa Indonesia disela-sela isu konflik sosial di Papua yang meminta memisahkan diri dari Pangkuan NKRI. Jejak historis konflik Sosial-ekonomi dan politik di Papua seharusnya menjadi bahan kontemplasi bagi negara agar bantu melihat asas persoalan konflik di Papua bisa ditemukan.
Perusahaan-perusahaan mana saja yang merusak tatanan ekologi di Papua?Â
Secara garis besar, terdapat beberapa perusahaan raksasa yang beroperasi di Papua dan memberikan dampak negatif terhadap lingkungan alam dan masyarakat Papua. Berikut adalah datanya:
PT Freeport Indonesia Tambang emas dan tembaga
Merupakan perusahaan raksasa di Papua yang bergerak di bidang pertambangan emas dan tembaga, lokasinya berada di Tembagapura-Mimika-Papua Tengah. Usaha pertambangan ini memilki luas wilayah operasi seluas 463.000 ha. Menyebabkan dampak terhadap lingkungan alam dan masyarakat adat, misalnya hilangnya hutan adat, teencamnya ekosistem alam, terjadinya disintegrasi sosial, dan persoalan sosial lainnya.
PT Gag Tambang nikelÂ
Merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan nikel, dan secara geografisnya terletak di kabupaten Raja Ampat. Izin perusahaan tambang ini dimulai sejak 2017. Mereka mengelola luas wilayah operasi sebesar 13.136 ha. Kehadiran perusahaan ini mengancam keindahan alam di Raja Ampat. Dan juga memberikan dampak buruk terhadap lingkungan alam dan manusia, seperti kerusakan lingkungan, polusi air, konflik sosial, masalah kesehatan.
PT Agriprima Cipta Bersada ( PMA)