"Dengan demikian setiap program akan dapat dieksekusi secara lebih cepat dan taktis," tandasnya.
Pengalaman Buruk Masuknya Militer di Ranah Sipil
Meski begitu, dosen Prodi Hukum Umsida itu  mengungkapkan bahwa Bangsa Indonesia pernah mengalami pengalaman dan masa-masa buruk terkait program-program yang dijalankan militer di ranah-ranah sipil, terutama di era Orde Baru (Orba) pada pemerintahan Presiden Soeharto.
"Permasalahannya, kita pernah mengalami pengalaman buruk dengan program militerisasi yg pernah berjalan di era Soeharto (Orba)," katanya.
Pelibatan militer dalam ruang sipil, terang Dr Rifqi, pada realitanya meninggalkan problem penyeragaman dan pembelengguan kreativitas dan nalar kritis publik.Â
Praktik-praktik pengekangan dan pengendalian aktivitas dan aspirasi publik atas nama pembangunan yang pernah terjadi pada era Orba juga akan berpotensi terjadi pada masa yang akan datang.
"Terlebih Menteri Pertahanan (Menhan) menegaskan fungsi utama batalyon itu nantinya adalah untuk 'mengamankan' program pembangunan dan ekonomi nasional, satu kata yang mengandung memori buruk terkait represi di era Orde Baru," ujar Dr Rifqi.
Menurutnya, karakter komando militer yang bersifat top-down tidak sesuai untuk diaplikasikan pada program-program yang beririsan dengan ranah sipil.
Namun, lanjutnya, jika pemerintah bersikeras untuk tetap membentuk batalyon Teritorial Pembangunan tersebut, maka harus ada dan diiringi oleh peraturan dan pengaturan yang proses dan substansinya bersifat responsif dan partisipatif, dengan mengedepankan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat sipil.
Harus Mempertimbangkan Alokasi Anggaran
Lebih lanjut, Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Umsida itu juga menyoroti soal rencana anggaran untuk pembentukan batalyon Teritorial Pembangunan tersebut.Â
Menurutnya, pemerintah harus benar-benar secara cermat mempertimbangkan kondisi perekonomian nasional.