Bayangkan kamu di situasi ini: sahabatmu bertanya, "Aku kelihatan gemuk nggak pakai baju ini?" Padahal, jujur saja, baju itu memang kurang cocok untuknya. Kamu pun terjebak dalam dilema kecil kalau bilang jujur, bisa saja dia sakit hati. Tapi kalau bohong demi membuatnya senang, kamu merasa tidak sepenuhnya tulus. Pertanyaan seperti ini sering kita anggap sepele, padahal sebenarnya menyimpan dilema moral yang besar. Ini adalah contoh nyata dari pertentangan dua pandangan etika klasik yang sudah dibahas para filsuf sejak lama, yaitu deontologi dan utilitarianisme .
 Deontologi adalah pandangan yang berpegang pada prinsip. Menurut aliran ini, suatu tindakan dianggap benar atau salah berdasarkan prinsip moral, bukan dari akibatnya. Tokoh utama dari aliran ini adalah Immanuel Kant , yang percaya bahwa kejujuran adalah kewajiban moral mutlak, bahkan jika kejujuran itu membawa konsekuensi buruk. Misalnya, jika kamu mengetahui temanmu selingkuh, maka menurut pandangan deontologis, kamu harus memberitahu pasangannya karena berbohong tetap salah, tak peduli seberapa besar kerusakan yang mungkin terjadi setelahnya. Prinsip utamanya adalah: "Lakukan yang benar, apapun akibatnya."
Berbeda dengan itu, utilitarianisme justru menilai baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan hasil akhirnya. Selama tindakan tersebut menghasilkan kebahagiaan atau manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang, maka tindakan itu dianggap bermoral. Tokoh-tokoh seperti Jeremy Bentham dan John Stuart Mill meyakini bahwa moralitas harus dilihat dari seberapa besar dampak positif yang dihasilkan. Dalam kasus seseorang yang ingin bunuh diri, seorang utilitarianisme bisa saja memilih untuk berbohong, mengatakan bahwa "besok akan ada kejutan baik," hanya demi mencegahnya mengambil langkah fatal. Bagi utilitarianisme, yang penting adalah menyelamatkan nyawa, bukan mempersoalkan apakah kalimat itu sepenuhnya benar atau tidak.
Lalu, mana yang lebih bermoral: jujur tanpa kompromi seperti deontologi, atau berbohong demi kebaikan seperti utilitarianisme? Keduanya punya kekuatan dan kelemahan. Deontologi memang konsisten dan jelas ia melindungi hak-hak individu dan tidak goyah meski dalam situasi sulit. Tapi di sisi lain, pendekatannya sering terasa kaku. Ia tidak memberi ruang untuk mempertimbangkan kondisi atau perasaan orang lain. Sementara itu, utilitarianisme lebih fleksibel dan solutif. Ia bisa menyesuaikan diri dengan situasi dan berusaha mencari hasil terbaik. Namun, dalam praktiknya, pendekatan ini bisa membahayakan kelompok kecil jika itu dianggap demi kebaikan yang lebih besar.
Contoh kasus yang sering digunakan dalam diskusi moral adalah soal mencuri obat untuk ibu yang sakit keras. Menurut pandangan deontologis, mencuri tetap salah walaupun tujuannya mulia. Sedangkan bagi utilitarianisme , tindakan itu dibenarkan karena yang lebih penting adalah menyelamatkan nyawa, bukan sekadar mengikuti aturan hukum. Dari sini, kita bisa lihat bahwa jawaban soal "benar dan salah" bisa sangat bergantung pada cara pandang kita terhadap nilai moral itu sendiri.
Filsafat moral mungkin tidak memberi kita jawaban yang selalu pasti, tapi ia mengajak kita untuk berpikir lebih dalam. Saat kita dihadapkan pada dilema sehari-hari, seperti memilih antara jujur atau menjaga perasaan orang lain, pertanyaan utamanya bukan hanya "apa yang benar," tapi juga "mengapa kita memilih itu." Jadi, lain kali kamu ragu mengambil keputusan, coba tanya ke dirimu sendiri: apa prinsip yang paling aku pegang teguh? Dan, apa dampak terbaik dan terburuk dari pilihan yang aku ambil.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI