Mohon tunggu...
Ervina Rika
Ervina Rika Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Hidup ibarat sebuah mimpi. Dan mimpi cepat atau lambat akan berakhir. Kehidupan yang sebenarnya baru dimulai saat kematian datang. Ali bin Abi Thalib pernah berkata: "Pada saat manusia menemui kematiannya maka ia pun terbangun dari tidurnya"

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Kasihan, Sudah Jatuh Tertimpa Tangga

14 Oktober 2012   10:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:51 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saya mempunyai dua orang keponakan yang jarak usianya sekitar dua tahun. Mereka sangat periang dan suka main bersama. Suatu hari si kecil yang berusia empat tahun tanpa sengaja menelan permen karet ketika bermain kejar-kejaran dengan kakaknya. Dia berusaha memuntahkan permen karet yang terlanjur masuk ke dalam kerongkongannya. Si kakak khawatir tapi bingung apa yang harus dilakukannya. Lalu ibunya datang dan menanyakan apa yang terjadi pada adiknya. Awalnya si Kakak berbohong dan mengatakan adiknya tersedak makanan. Namun setelah didesak akhirnya Si Kakak mengaku kalau adiknya menelan permen karet. Sontak ibunya marah besar dan membawa si kecil ke kamar. Di dalam kamar si Kecil yang masih syok setelah menelan permen karet, harus menghadapi pukulan pada pantatnya. Ibunya memarahi sambil terus memukul, tentu saja dia menangis keras. Saya berusaha menenangkan tante saya dengan mengatakan bahwa tidak perlu khawatir karena permen karet akan keluar lagi nanti bersama BAB. Kasihan, miris sekali rasanya hati saya. Pernahkah para orang tua juga melakukan hal yang sama pada anaknya? Ketika si anak mengalami kecelakaan misalnya jatuh atau terluka orang tua justru memarahinya? Biasanya hal itu terjadi karena rasa sayangnya pada anak sehingga mereka beranggapan dengan dimarahi si anak lain kali akan lebih hati-hati. Tapi tahukah justru yang terjadi bisa saja sebaliknya? Anak akan ketakutan dan berusaha menyembunyikan apa yang terjadi pada orang tua. Pada akhirnya anak akan berbohong dan bersifat tertutup. Saya pun masih ingat ketika dulu jatuh dan lutut terluka, saya berusaha mati-matian untuk tidak menangis. Karena bila ketahuan saya pasti dimarahi dan tidak boleh bermain lagi. Semakin saya menangis maka semakin gencar pula Ibu memarahi saya. Begitu juga saat bermain di sawah dan baju terkena lumpur. Saya akan diam-diam mencuci baju itu sehingga ibu tidak tahu bahwa saya dan teman-teman main di sawah. Hal itu saya lakukan karena tidak ingin dimarahi. Mungkin karena itu pula saat guru bertanya ketika sekolah dulu saya tak berani angkat tangan meski yakin jawaban saya benar. Mental sudah kalah oleh rasa takut. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi ketika anak sering dimarahi saat seharusnya mendapat kasih sayang dan perhatian. Pertama anak akan tertutup dan tidak mau terbuka tentang yang dia alami pada orang tua. Karena dia tahu bahwa yang akan didapat adalah marah dan ketidakmauan orangtua untuk mengerti. Atau kedua, anak akan tumbuh menjadi si ‘pelanggar’ dan tidak mau mendengar nasihat orang tua. Semakin marah orangtua maka dia semakin senang dan merasa puas. Kedua-duanya tentu bukanlah hal yang diharapkan oleh orang tua. Orang tua berharap anaknya tumbuh menjadi anak yang shalih, baik, sopan, patuh pada perintah orang tua, dan menghormati orang lain. Namun sederet ‘label anak baik’ itu tidak akan terwujud jika orang tua menanamkan sifat yang salah sejak kecil. Anak adalah cermin orang tua. Bagaimana orang tua bersikap akan ditiru oleh anak. Misalnya saat saya mengusir kucing dengan kaki (bukan menendang lho ya) anak saya yang berumur 14 bulan ikut-ikutan mengarahkan kakinya ke kucing tersebut. Sejak itu bila si kucing datang saya akan mengusirnya diam-diam agar anak saya tak mendapat pelajaran “menendang” dari orang tuanya. Bila sedari kecil anak dididik dengan banyak menegur dan memarahi maka ia akan tumbuh menjadi anak yang perasa, mudah tersinggung, dan pemarah. Agar anak tumbuh dengan baik maka diperlukan suasana menghormati dan menghargai. Anak tidak mengerti apa yang dilakukan baik atau buruk. Adalah tugas orangtua untuk menjelaskan dengan bijak dan lemah lembut. Kadang saya berangan-angan kalau saja dulu pengasuhan saya lebih baik mungkin hidup saya juga akan lebih baik. Bukan berarti saya menafikan peran orangtua. Saya bersyukur masih merasakan kasih sayang orang tua hanya saja pola pengasuhan yang salah bisa membawa dampak seumur hidup. Ada saat-saat dimana seorang anak berada dalam masa The Golden Age. Masa dimana pembelajaran yang diterima akan terbawa sampai dewasa. Masa itu antara balita dan usia sekolah dasar. Masa ketika anak banyak ingin tahu dan banyak bergerak. Tidak ada anak yang normal yang tidak suka berlari dan bermain. Mereka suka berkejar-kejaran dan bekotor-kotor ria. Kebanyakan orang tua melarang anaknya lari karena takut jatuh. Melarang anaknya main pasir karena takut kotor. Padahal di dalam acara bermain yang tampak sepele di mata orang dewasa, tersimpan pembelajaran yang besar. Bagi anak bermain sama pentingnya dengan air yang membuat orang tetap hidup. Segala aktivitas dilakukan dengan bermain termasuk belajar dan makan. Imam Al Ghazali berkata, “Melarang anak bermain dan memaksanya terus belajar pasti akan mematikan hati, menumpulkan kecerdasan, dan menyulitkan hidupnya.” Karena itu terlalu banyak memarahi dan melarang tidak dianjurkan bila ingin anak-anak tumbuh dengan baik. Bila dipikir-pikir lebih baik mana: anak aktif bermain atau anak pendiam yang lebih memilih duduk tanpa melakukan apa-apa?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun