Mohon tunggu...
Ummi Hannif Fitri
Ummi Hannif Fitri Mohon Tunggu... Mahasiswa UIN Jakarta

Mahasiswa UIN Jakarta // FDIKOM // Pengembangan Masyarakat Islam

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ketika Dakwah Menjadi Konten; Antara Syiar dan Popularitas

16 Mei 2025   17:04 Diperbarui: 16 Mei 2025   17:04 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Perkembangan teknologi digital telah menghadirkan wajah baru dalam dunia dakwah. Jika biasanya dakwah identik dengan mimbar masjid dan majlis taklim, kini dakwah hadir dalam bentuk konten-konten singkat yang bisa ditemukan melalui sosial media. Fenomina ini menunjukkan bahwa dakwah telah memasuki era baru yaitu era digital. Namun, seiring dengan berkembangnya dai-dai muda di media sosial, muncul pula pertanyaan penting: apakah dakwah ini murni sebagai bentuk syiar atau hanya sekedar mencari popularitas?

Dakwah masa kini tidak lagi terbatas pada ruang-ruang formal. Berkat internet dan media sosial siapapun bisa menjadi "pendakwah". Cukup dengan aktifkan kamera ponsel, akun media sosial, dan sedikit kreativitas. Konten dakwah pun beragam bentuknya, video pendek berkutipan hadits, ceramah singkat dengan gaya kekinian, tanya jawab seputar fiqih di kolam komentar, bahkan meme atau animasi yang menyisipkan nilai-nilai Islami. Pendekatan ini terbukti menarik minat generasi muda yang lebih akrab dengan dunia digital daripada dengan majlis taklim konvesional.

Hal ini tentu membawa banyak manfaat. Pertama, jangkauannya sangat luas, satu video TikTok berdurasi satu menit bisa menyebar ke jutaan pengguna dalam hitungan jam. Ini merupakan kekuatan luar biasa untuk menyebarkan nilai-nilai Islam secara cepat dan efesien. Kedua, media sosial menjadikan dakwah lebih inklusif dan mudah diakses. Tidak semua orang punya waktu atau keberanian untuk datang ke pengajian, tapi hampir semua orang memiliki handphone dan akun media sosial. 

Meski memiliki banyak manfaat, dakwah digital juga menyimpan tantangan besar. Salah satunya adalah pergeseran niat. Media sosial dengan segala fiturnya, like, views, share, dan followersnya menciptakan godaan untuk mengukur keberhasilan dakwah berdasarkan angka-angka tersebut. Tak sedikit konten dakwah yang dibuat lebih untuk viral daripada untuk syiar. Judul sensasional, konflik atar ustadz, atau bahasa yang provokatif kerap digunakan demi engagement. Bahkan tak jarang "pendakwah" memanfaatkan titlenya untuk menjadi monetisasi semata-dari edsense, endorsment, hingga menjual produk dengan embel-embel religius. Akhirnya, muncul problem kredibilitas. Tidak semua yang berbicara soal agama di internet memiliki landasan ilmu yang kuat. Akibatnya, banyak umat terpapar pada pemahaman yang sepotong atau bahkan keliru. 

Yang terpenting adalah menjaga niat untuk menjadikan dakwah sebagai ibadah, bukan sekedar ajang eksistensi diri. Popularitas bisa datang, namun tidak bisa dijadikan sebagai tujuan utama. Para pendakwah digital perlu berbekal diri dengan ilmu agama, adab, dan sensitivitas sosial. Jika digunakan dengan niat yang benar dan metode yang tepat, bisa menjadi jalan kebaikan. Penting untuk menerapkan etika dakwah digital, tidak menyebar kebencian, tidak membuat konten menyesatkan, dan tetap menjaga adab dalam menyampaikan ilmu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun