Mohon tunggu...
Ummi Azizah
Ummi Azizah Mohon Tunggu... Psychology Master’s student at Airlangga University

Passionate about mental health, relationships, and childhood roots

Selanjutnya

Tutup

Love

Teman Level 2: Romansa Zaman Now Atau Bentuk Avoidant Attachment?

1 Oktober 2025   23:54 Diperbarui: 2 Oktober 2025   01:13 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

As Harry Styles sings in 'Falling': 'What if I'm someone I don't want around?' love is present, but distance feels safer." 

Fenomena hubungan tanpa status belakangan ini sangat marak di kalangan Gen z, terutama di media sosial TikTok. Belakangan ini mulai muncul tren dengan istilah "teman level 2". Istilah ini seringkali dipakai untuk membuat konten dengan seseorang yang dianggap spesial namun tidak memiliki hubungan apapun atau bisa dibilang "hubungan tanpa status". 

Istilah "teman level 2" ini dianggap lebih dari sekadar teman biasa "level 1", tapi belum sampai ke tahap pacaran resmi "level 3". Dalam fase ini ada kedekatan emosional dan mungkin juga fisik, namun tanpa adanya label hubungan yang jelas. Maraknya tren "teman level 2" dikalangan gen z ini mengindikasikan bahwa bagi sebagian orang "teman level 2" terasa pas, karena tanpa adanya hubungan yang jelas, mereka bisa dekat dengan seseorang tanpa harus ribet dengan drama komitmen. Namun dengan adanya tren atas fenonema ini timbul suatu pertanyaan: apakah "teman level 2" ini adalah murni gaya romansa generasi muda zaman sekarang, atau sebenarnya ada pola psikologis yang lebih dalam?

Romansa atau Alarm Psikologis?

(sumber: pexels.com)
(sumber: pexels.com)

"Teman level 2" sering digambarkan sebagai hubungan yang abu-abu. Ada rasa sayang, ada kebersamaan, tapi tidak ada pengakuan resmi. Fenomena ini tak bisa dilepaskan dari kebutuhan dasar manusia akan kedekatan emosional sekaligus ketakutan akan keterikatan yang terlalu dalam.  "Teman level 2" adalah zona nyaman bagi sebagian orang, karena dengan ini mereka bisa merasakan kedekatan fisik atau emosional, tapi tetap menjaga jarak agar tidak terluka oleh komitmen jangka panjang yang mungkin akan terjadi. Namun di sisi lain "teman level 2" ini juga bisa menjadi sebuah alarm psikologi karena dianggap sebagai sebuah cara menghindar dari komitmen yang disebabkan luka lama yang belum selesai.

Saat Luka Lama Menyamar Jadi Cinta

(sumber: pexels.com)
(sumber: pexels.com)

Sering kali kita tidak menyadari bahwa cara kita mencintai di masa sekarang ternyata adalah cerminan dari masa kecil kita. Ada yang tumbuh dengan rasa aman karena dekat dengan orangtua, tapi ada juga yang membawa perasaan kosong karena kehilangan figur ayah atau kurang kasih sayang. Luka seperti ini pelan-pelan membentuk keyakinan dalam hati: "kalau aku terlalu dekat, nanti aku akan ditinggalkan lagi." Dari sinilah muncul pola avoidant attachment, yaitu gaya mencintai yang memilih aman dengan menjaga jarak.

John Bowlby (1969, 1980) menjelaskan bahwa attachment terbentuk dari interaksi awal anak dengan pengasuh. Jika anak tidak mendapatkan secure base (basis aman) dari orangtua misalnya karena ayah absen (fatherless) atau pola asuh dingin anak bisa mengembangkan pola avoidant attachment. Dalam konteks "teman level 2", individu dengan avoidant attachment cenderung mencari kedekatan emosional, tetapi hanya sampai batas tertentu. Mereka ingin hubungan yang cukup dekat, tapi tidak sampai ke komitmen formal karena merasa rentan jika terlalu terikat.

Dalam sebuah penelitian berjudul "Hubungan fatherless dengan avoidant attachment style pada wanita dewasa awal" didapatkan hasil penelitian bahwa individu yang tumbuh tanpa kehadiran ayah, baik karena perceraian, kematian, atau faktor penelantaran emosional, cenderung mengembangkan gaya kelekatan yang menghindar (avoidant). Dalam konteks ini, avoidant attachment ditandai oleh kesulitan dalam membangun kedekatan emosional, ketidaknyamanan terhadap ketergantungan dalam hubungan, serta kecenderungan untuk menarik diri secara emosional dari orang lain

Beberapa penelitian juga menunjukkan, anak yang tumbuh tanpa figur ayah (fatherless) atau mengalami kurangnya kehangatan keluarga cenderung membangun pola kelekatan menghindar (avoidant). Mereka belajar bahwa terlalu dekat bisa berisiko, sehingga lebih memilih hubungan yang cair seperti "teman level 2". Jadi, tren "teman level 2" bisa jadi bukan sekadar budaya baru anak muda, tapi juga cermin dari pengalaman emosional masa lalu.

Meski pola avoidant terbentuk dari masa kecil, bukan berarti tidak bisa berubah. Ada beberapa cara untuk keluar dari "teman level 2":

  1. Kenali luka batin, sadari bahwa keengganan untuk berkomitmen bisa berasal dari pengalaman fatherless atau kurang kasih sayang

  2. Cari hubungan suportif, teman, pasangan, atau mentor yang konsisten bisa menjadi pengalaman korektif.

  3. Belajar komunikasi asertif, berani mengungkapkan kebutuhan emosional tanpa rasa takut ditolak.

  4. Jangan ragu terapi, konseling dengan psikolog bisa membantu melatih kepercayaan pada relasi yang sehat.

Membangun hubungan yang aman memang butuh waktu. Tapi dengan langkah kecil ini, kita bisa pelan-pelan bergerak keluar dari pola "teman level 2". Mengenali luka masa lalu, belajar komunikasi yang lebih jujur, hingga berani percaya pada orang lain bukanlah sebuah hal yang mudah, tapi bisa dilatih. Kita berhak punya hubungan yang bukan cuma hangat di permukaan, tapi juga dalam dan menyembuhkan.

Pada akhirnya, penting untuk bertanya pada diri sendiri: "Apakah aku memilih hubungan ini karena benar-benar sesuai kebutuhanku, atau karena aku takut pada komitmen yang lebih dalam?". Hanya kita yang benar-benar bisa mengerti jawaban paling jujur dari pertanyaan itu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun