Beberapa penelitian juga menunjukkan, anak yang tumbuh tanpa figur ayah (fatherless) atau mengalami kurangnya kehangatan keluarga cenderung membangun pola kelekatan menghindar (avoidant). Mereka belajar bahwa terlalu dekat bisa berisiko, sehingga lebih memilih hubungan yang cair seperti "teman level 2". Jadi, tren "teman level 2" bisa jadi bukan sekadar budaya baru anak muda, tapi juga cermin dari pengalaman emosional masa lalu.
Meski pola avoidant terbentuk dari masa kecil, bukan berarti tidak bisa berubah. Ada beberapa cara untuk keluar dari "teman level 2":
Kenali luka batin, sadari bahwa keengganan untuk berkomitmen bisa berasal dari pengalaman fatherless atau kurang kasih sayang
-
Cari hubungan suportif, teman, pasangan, atau mentor yang konsisten bisa menjadi pengalaman korektif.
Belajar komunikasi asertif, berani mengungkapkan kebutuhan emosional tanpa rasa takut ditolak.
Jangan ragu terapi, konseling dengan psikolog bisa membantu melatih kepercayaan pada relasi yang sehat.
Membangun hubungan yang aman memang butuh waktu. Tapi dengan langkah kecil ini, kita bisa pelan-pelan bergerak keluar dari pola "teman level 2". Mengenali luka masa lalu, belajar komunikasi yang lebih jujur, hingga berani percaya pada orang lain bukanlah sebuah hal yang mudah, tapi bisa dilatih. Kita berhak punya hubungan yang bukan cuma hangat di permukaan, tapi juga dalam dan menyembuhkan.
Pada akhirnya, penting untuk bertanya pada diri sendiri: "Apakah aku memilih hubungan ini karena benar-benar sesuai kebutuhanku, atau karena aku takut pada komitmen yang lebih dalam?". Hanya kita yang benar-benar bisa mengerti jawaban paling jujur dari pertanyaan itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI