Saat acara pernikahan di Nagari Taruang-taruang, banyak hal yang berakulturasi seperti salah satunya ialah hidangan makanan saat resepsi. Biasanya masyarakat Mandailing menyiapkan hidangan makanan sederhana saja berupa gulai daun ubi tumbuk, telur dadar, ikan goreng, sambal, kerupuk yang dimasak bersama-sama. Tetapi setelah terjadinya akulturasi antara dua kebudayaan yakni Mandailing dan Minangkabau, maka hidangan makanan saat prosesi pernikahan ditambahkan dengan makanan Minangkabau seperti rendang, gulai nangka, gulai sampadeh (asam pedas) ikan, perkedel kentang, sambal terong balado. Hal ini terjadi ketika masyarakat Mandailing mengahadiri resepsi pernikahan Minangkabau. Mengenai indahan tukkus juga terdapat akulturasi. Masyarakat Tapanuli Selatan membawa indahan tukkus dihiasi bunga-bunga dengan dijujung. Sementara masyarakat Mandailing biasanya membungkus nasi bawaan kedua mempelai dengan bungkusan daun pisang. Akan tetapi sekarang ini masyarakat Mandailing menggunakan rantang sebagai tempat nasi beserta lauk pauknya. Makanan yang disebut itak juga tidak ada ketika laki-laki Minangkabau menikahi perempuan Mandailing karena dalam adat Minangkabau setelah akad kedua mempelai akan bersanding di pelaminan.
Akulturasi dalam hal artefak
Benda-benda pusaka yang digunakan yaitu keris saat acara batimbang tando. Keris sebagai jaminan sampai acara pernikahan selesai. Apabila salah satu pihak membatalkan acara pernikahan, maka wajib baginya mengembalikan segala yang telah diterimanya. Akan tetapi apa yang telah diberikannya tidak boleh diminta kembali, semua itu dianggap hilang. Akulturasi dalam hal artefak lainnya yaitu suntiang, yang dipakai oleh mempelai perempuan saat bersanding di pelaminan sebagai riasan di kepalanya. Suntiang ini memiliki simbol yang melambangkan mempelai perempuan seperti bunga yang sedang mekar. Suntiang memiliki bahan dari emas, perak, atau imitasi berwarna emas yang melambangkan kebesaran dan keagungan mempelai perempuan.
Struktur Sosial Mandailing dan Ruang Masuknya Islam
Dalihan Na Tolu: Sistem Kekerabatan dan Sosial
Dalihan Na Tolu memiliki arti "tungku yang berkaki tiga", bukan berkaki empat atau lima. Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan. Kalau kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi.
Inilah yang dipilih leluhur suku Batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara, dengan hulahula dan boru. Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu.
Dalihan Na Tolu menjadi kerangka hubungan tripartit yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok.Dalam adat Batak, Dalihan Na Tolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama, ketiga hal tersebut ialah sebagai berikut.
1.Somba marhulahula Ada yang menafsirkan pemahaman ini menjadi “menyembah hul-hula, namun ini tidak tepat. Memang benar kata Somba, yang tekananya pada som berarti menyembah, akan tetapi kata Somba di sini tekananya ba yang adalah kata sifat dan berarti hormat. Sehingga Somba marhula-hula berarti hormat kepada Hula-hula.[1] Hula-hula adalah kelompok marga istri, mulai dari istri kita, kelompok marga ibu(istri bapak), kelompok marga istri ompung, dan beberapa generasi; kelompok marga istri anak, kelompok marga istri cucu, kelompok marga istri saudara dan seterusnya dari kelompok dongan tubu.[3] Hula-hula ditengarai sebagai sumber berkat. Hulahula sebagai sumber hagabeon/keturunan. Keturunan diperoleh dari seorang istri yang berasal dari hulahula. Tanpa hulahula tidak ada istri, tanpa istri tidak ada keturunan.
2.Elek marboru Ini berarti rasa sayang yang tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih.Boru adalah anak perempuan kita, atau kelompok marga yang mengambil istri dari anak kita (anak perempuan kita). Sikap lemah lembut terhadap boru perlu, karena dulu borulah yang dapat diharapkan membantu mengerjakan sawah di ladang. Tanpa boru, mengadakan pesta suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.
3.Manat mardongan tubu/sabutuha Ini berarti suatu sikap berhati-hati terhadap sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara adat. Hati–hati dengan teman semarga. Orang tua-tua berkata, “hau na jonok do na boi marsiogoson,” yang berarti kayu yang dekatlah yang dapat bergesekan. Ini menggambarkan bahwa begitu dekat dan seringnya hubungan terjadi, hingga dimungkinkan terjadi konflik, konflik kepentingan, kedudukan, dan lain-lain.