Mohon tunggu...
Umar Khayam
Umar Khayam Mohon Tunggu... Penulis

Seseorang pembelajar. Kegiatan saat ini selain menulis juga berprofesi sebagai coach dan terapis energetik dengan modalitas Body Communication Resonance (BCR)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Apakah Anda Mau Berhikmat?

11 September 2025   00:05 Diperbarui: 11 September 2025   00:10 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Apakah anda Mau Berhikmat?

*Apakah Anda Mau Berhikmat?*


Ketika pertama kali membaca pertanyaan sederhana itu --- "Apakah Anda mau berhikmat?" --- saya merasa seperti ditatap lembut oleh sebuah cermin yang menanyakan lebih dari sekadar kecerdasan: apakah kita siap menempuh jalan menjadi manusia yang memilih dengan matang, bukan hanya tahu banyak? Pertanyaan ini membuka ruang refleksi yang dalam.

Saya tidak ingin menulis definisi lagi. Banyak tulisan sudah menjelaskan bahwa hikmat berbeda dari pengetahuan atau kecerdasan. Yang mungkin jarang ditulis --- dan yang saya temukan dari potongan pengalaman sehari-hari --- adalah bagaimana hikmat tumbuh lewat hal-hal kecil yang sering kita abaikan: jeda, kerusakan rutinitas, cara kita menanggapi rasa malu, atau kebiasaan menunda menjawab ketika hati masih gaduh. Di sini saya berbagi pengamatan dan praktik mikro yang, menurut saya, jauh lebih mendasar daripada teori besar.

Pertama: diam yang produktif.
Dalam rapat kecil beberapa tahun lalu saya terbiasa memberi jawaban cepat supaya terlihat kompeten. Sampai suatu hari, saat saya menahan diri sejenak, saya bisa merumuskan pertanyaan yang membuat diskusi berubah arah menjadi solusi yang lebih manusiawi. 

Logika: jeda memberi waktu untuk menghitung konsekuensi. 

Rasa: jeda menenangkan, membuat kita tidak menyesal karena kata yang keluar terburu-buru.

Latihan sederhana: sebelum merespons, tarik tiga napas panjang. Jika perlu, katakan, "Beri saya waktu sejenak untuk memikirkan."

Kedua: uji satu-tahun.
Banyak keputusan dibuat berdasarkan urgensi. Coba filter sederhana: "Apakah keputusan ini masih terasa benar satu tahun dari sekarang?" Ini bukan soal meremehkan kebutuhan mendesak, tetapi menempatkan pilihan dalam perspektif yang lebih tahan lama. Logika menghindari keputusan impulsif; rasa memberi landasan ketenangan karena kita bertanya pada waktu, bukan hanya emosi.

Ketiga: pisahkan fakta, emosi, dan tafsir.
Konflik kecil sering membesar karena kita mencampur fakta (apa yang terjadi), emosi (bagaimana perasaan kita), dan tafsir (kenapa itu terjadi). Ketika saya mulai menyebut tiap lapisan itu dengan sederhana-"Fakta: Anda datang terlambat. Perasaan saya: kecewa. 

Tafsir saya: saya merasa tidak dihargai." --- percakapan menjadi lebih jujur dan lebih mungkin menemukan solusi. Logika meminimalkan distorsi; rasa membuka ruang empati.

Keempat: latih menanyakan bukan menghakimi.
Orang bijak sering punya kebiasaan bertanya yang membuat lawan bicaranya merasa didengar, bukan dicecar jawaban. Pertanyaan seperti "Apa yang membuatmu berpikir begitu?" atau "Apa yang paling penting bagimu sekarang?" lebih kuat daripada nasihat kilat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun