Sang Buddha pernah bersabda, "Dunia ini terbungkus oleh ilusi; hanya sedikit yang melihat dengan jelas." (Dhammapada, ayat 170).
Saya teringat akan kisah yang saya tonton di sebuah kanal YouTube bertema misteri siaran langsung. Dalam video itu, ada seorang penjual bakso yang tidak pulang selama tiga malam. Keluarganya pun cemas dan meminta bantuan seorang YouTuber misteri untuk mencari keberadaannya. Pada malam pencarian, sang YouTuber melakukan eksplorasi ke area pemakaman, dan di sanalah mereka menemukan hal yang mengejutkan: penjual bakso itu ternyata sedang berjualan di tengah kuburan. Dari sudut pandangnya sendiri, ia merasa sedang melayani pembeli di sebuah kompleks perumahan yang ramai. Para pembeli tampak cantik dan tampan di matanya, bahkan mereka membayar dengan daun kering yang ia kira uang sungguhan. Ia sama sekali tidak sadar bahwa yang dilihatnya hanyalah ilusi, dan bahwa "pelanggannya" sebenarnya adalah makhluk halus.
Kisah ini mengingatkan saya pada film Hong Kong Green Snake dan White Snake, tentang seorang lelaki yang jatuh cinta kepada seorang wanita jelita, padahal wanita itu sebenarnya adalah seekor ular yang berubah wujud. Dalam pandangannya, ia melihat rumah sang wanita sebagai istana megah, padahal semuanya hanyalah ilusi yang menutupi kenyataan.
Jika dunia ini memang terbungkus oleh ilusi, maka siapa pun bisa terhipnotis oleh bungkus itu---seperti penjual bakso yang "diselong", tertutup penglihatan batinnya oleh makhluk gaib, atau seperti lelaki dalam Green Snake yang matanya tertutup oleh pesona cinta semu. Dunia tampak nyata, namun mungkin hanyalah bayangan dari persepsi kita sendiri---dan sebagaimana diajarkan Sang Buddha, hanya sedikit yang benar-benar mampu melihat dengan jelas.
Mari kita renungkan ini bersama, dari sudut pandang Dhamma---tanpa menghakimi, hanya berusaha memahami. Dalam kisah tentang penjual bakso itu, kita melihat betapa kuatnya pengaruh ilusi dalam membentuk persepsi manusia. Si penjual bakso melihat sebuah kompleks perumahan yang ramai, padahal kenyataannya ia sedang berada di tengah kuburan. Ia memandang para pembelinya sebagai orang-orang cantik dan tampan, padahal yang dilihatnya adalah makhluk halus. Bahkan ketika menerima uang pembayaran, yang sebenarnya ia terima hanyalah daun kering.
Kisah ini menjadi contoh nyata dari kekuatan moha---kebodohan atau ilusi batin---dan sa, yaitu persepsi. Dalam ajaran Buddha, sa bukan sekadar kemampuan untuk mengenali sesuatu, tetapi juga memberi makna terhadap apa yang dialami. Namun makna yang diciptakan pikiran tidak selalu benar; ia bisa menipu, membungkus kenyataan dengan selubung ilusi yang tampak nyata bagi yang terperangkap di dalamnya.
Si penjual bakso sebenarnya tidak berbohong---baginya, pengalaman itu benar-benar nyata. Namun "kenyataan" yang ia alami dibentuk oleh kondisi batin, energi dari tempat tersebut, dan mungkin juga oleh kehadiran makhluk lain yang memiliki kemampuan memengaruhi persepsi, sesuatu yang dalam tradisi Asia sering disebut iddhi atau my.
Kisah ini memiliki kemiripan dengan legenda White Snake, tentang seorang pria yang jatuh cinta kepada wanita cantik yang sebenarnya adalah seekor ular berkekuatan tinggi. Ia melihat istana megah di hadapannya, padahal mungkin hanya gua atau reruntuhan. Namun cintanya membuat ilusi itu terasa lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri.
Fenomena ini sangat berhubungan dengan ajaran tentang tah (kemelekatan) dan dihi (pandangan salah). Ketika batin terikat oleh keinginan, rasa takut, atau emosi tertentu, ia dapat menciptakan realitas alternatif---dan tanpa sadar, kita hidup di dalamnya seolah itu benar adanya. Bahkan dalam latihan meditasi, pengalaman serupa bisa muncul: seseorang melihat cahaya indah lalu mengira itu tanda pencerahan, atau merasakan kedamaian mendalam lalu menganggap dirinya sudah terbebas. Namun Sang Buddha mengingatkan, "Jangan terikat pada apa pun yang muncul dalam batin---bahkan pada pengalaman surgawi sekalipun."
Dalam perspektif Buddhis, keberadaan makhluk halus dan alam antara diakui sebagai bagian dari keseluruhan struktur kehidupan. Ajaran Buddha menyebut adanya makhluk non-fisik seperti peta (arwah yang menderita), deva (makhluk surgawi), dan yakkha (makhluk halus yang memiliki kekuatan). Mereka hidup di alam dengan frekuensi berbeda dari manusia, namun dalam kondisi tertentu, interaksi di antara kedua alam ini dapat terjadi---terutama ketika batin manusia sedang lemah, diliputi rasa takut, kebingungan, atau terlalu terbuka tanpa perlindungan batin. Interaksi juga bisa muncul karena adanya hubungan karma (kamma) antara manusia dan makhluk dari alam lain.
Persepsi manusia pun dapat berubah ketika berhadapan dengan makhluk-makhluk tersebut. Hal ini tidak selalu disebabkan oleh niat jahat, melainkan karena perbedaan dimensi keberadaan. Seperti halnya seekor ikan tidak dapat membayangkan bagaimana rasanya hidup di udara, manusia pun sulit memahami atau melihat alam halus, kecuali dalam keadaan batin tertentu yang memungkinkan tabir persepsi itu terbuka.