Mohon tunggu...
Umar Sofii
Umar Sofii Mohon Tunggu... Bukan Siapa-siapa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ranti Elegi Cinta Yang Hilang 10

26 Maret 2025   09:48 Diperbarui: 26 Maret 2025   09:48 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Selesai sarapn, aku masih dduk ngobrol di meja makan bersama Ranti. Udara pagi segar terasa, namun suasana adi antara kami mulai terasa berat, seolah ada beban tak terucap yang menggelayuti ruangan.

"Ibu kamana?" tanyaku sambil menyeruput teh hangat dari cangkir.

"Pergi ke tetangga. Tadi beliau pamit sama aku," jawab Ranti dengan nada pelan.

Tiba-tiba, Ranti mengajukan pertanyaan yang membuatku terkejut.

"Sudah berapa hari kamu tidak pulang ke rumah?" tanyanya dengan nada serius.

"Satu minggu... Kok kamu tahu aku tidak pulang?" tanyaku balik, heran. Kemudian aku terdiam sejenak, tidak bisa berkata apa-apa.

Namun, Ranti melanjutkan pembicaraannya dengan nada yang semakin dalam, seolah ingin membongkar semua rahasia yang selama ini kusembunyikan.

"Semalam, aku diajak ngobrol oleh ibumu. Dia bercerita banyak tentang dirimu. Aku mengerti apa yang dia pikirkan. Ibumu bercerita sambil menangis, dan aku juga ikut menangis. Sampai kapan kamu akan tetap seperti ini?" katanya, suaranya penuh emosi.

Aku hanya terdiam, tidak mampu menjawab. Hatiku terasa sesak mendengar kata-katanya.

"Apakah kamu tidak ingin membahagiakan ibumu?" desak Ranti, matanya menatapku tajam.

"Aku akan tetap begini sampai aku menemukan pekerjaan yang aku inginkan," jawabku setelah beberapa saat terdiam.

Ranti menghela napas panjang. "Berapa kali kamu tidak memenuhi panggilan kerja dari perusahaan yang sudah kamu lamar?" tanyanya lagi, suaranya semakin tegas.

"Beberapa kali," gumamku pelan.

"Tahu nggak? Sikapmu itu membuat ibumu sedih. Jangan egois hanya memikirkan dirimu sendiri!" bentaknya, suaranya menggema di ruang makan.

Mendengar kata-katanya, aku terdiam. Hatiku terasa tersentuh, namun aku masih mencoba mencari alasan. Setelah beberapa saat, aku akhirnya berkata, "Iya... aku akan berangkat untuk memenuhi panggilan kerja. Tapi, kamu harus ikut denganku."

"Kapan kamu berangkat?" tanyanya.

"Akhir bulan."

"Kerja di mana?"

"Di Palu, Sulawesi."

Ranti mengangguk pelan. "Nanti aku akan bicara sama ibu. Aku ikut denganmu. Aku belikan tiket pesawat untuk kita berdua."

"Terus pekerjaanmu di sini bagaimana?" tanyaku khawatir.

"Dirimu tidak usah mikirin aku. Aku tahu apa yang terbaik buat diriku," jawabnya mantap, sambil tersenyum tipis.

---

Malang, 27 Januari 2024

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun