Mohon tunggu...
irawan boma
irawan boma Mohon Tunggu... lainnya -

pengamat kehidupan, praktisi revitalisasi untuk sustainability (lingkungan) hidup, saya sungai, saya suka hujan, mendung, guntur, namun paling suka cahaya yang menyembul dari balik awan tebal.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mereka Bilang Saya (puja) Setan!

11 April 2010   00:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:52 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Hidup saya hari-hari ini sungguh mengasyikkan, pasalnya saya ini dituduh mengusung aliran sesat, dituduh memuja setan, sekalian pula dituduh setan, enak kalau cuma setan, saya malah dituduh mbahnya setan, setan seluruh kota ini katanya pusatnya ada ditempat saya! Beruntung saya tinggal di wilayah yang majemuk, kalau tidak saya bisa disiram bensin lalu dibakar di alun-alun, atau bisa saja saya ini diarak keliling kota lalu dibacok beramai-ramai, waduh-waduh.., bahasa kerennya, saya ini sedang kena "Character Assasination". Nah mungkin, waktu saya menulis ini pun saya dituduh sedang membela diri, tapi ya juga tidak mungkin, kalau saya mbahnya setan, kenapa saya membela diri, seharusnya saya bangga, tapi ya itu, selama kita tidak punya kesadaran akan adanya kemajemukan serta menghormatinya, selamanya kita akan dicap setan oleh mereka yang gagal mengerti arti kemajemukan. Saya diprotes keras karena mengiyakan dan percaya akan reinkarnasi oleh oknum-oknum sebuah institusi agama, tidak kudus katanya percaya akan reinkarnasi, bahwa ajaran tersebut sesat, tapi bukan porsi saya bicara soal reinkarnasi, pemahaman saya, secara pribadi tentang reinkarnasi adalah, struktur DNA yang turun temurun dari nenek moyang sampai ke kita sekarang, salah ini?Tidak, saya kan bilang ini pemahaman saya, saya juga tidak mendalami ajaran Budha dan Hindhu mengenai reinkarnasi, tapi apa pun yang ditulis dalam kedua agama tersebut mengenai reinkarnasi, saya hormati juga kebenarannya, sama saat saya menghormati Islam, Khatolik, Kristen dengan seabrek pecahan-pecahan alirannya, sebagaimana saya menghormati Aliran Kepercayaan, bahkan atheis sekalipun. Kebenaran yang terkandung di dalam masing-masing institusi keagamaan dan aliran lainnya itu bukan sesuatu yang bisa diperdebatkan, misalnya begini, alkisah ada dua kotak yang tertutup kain hitam yang dipegang oleh dua orang yang berbeda, lalu yang seorang berkata, "Di dalam kotak ini ada kodok!", lalu yang seorang lagi berkata, "Punyaku, anjing pudel!", kemudian mereka berdebat, yang punya kodok bilang, "Kotakmu itu tidak betul, masak isinya anjing pudel, harusnya kodok dong.", nah yang punya anjing pudel bilang, "Kodokmu itu yang tidak betul, jorok, berlendir, bau." Kalau kotak yang isi kodok sadar kotaknya bagus diisi kodok, kenapa harus mengkodokkan anjing pudel, lalu, kalau yang isinya anjing pudel sadar kotaknya luar biasa bagus diisi anjing pudel, kenapa harus mengata-ngatai semua kotak lain yang isinya bukan anjing pudel, kotak itu semua sama, tujuannya tidak lain, tidak bukan, ya mengkotak-kotakkan, salah?Tidak juga, asal masing-masing kotak menghormati kotak yang lain, tanpa perlu membandingkan kotak ini lebih begini, kotak itu lebih begitu, bosan rasanya hidup dalam kotak-kotak itu. Lupa ya, slogan yang diapit di kaki Garuda Pancasila? Lambang agung negara kita? Saya mau bilang lagi, salahkah saya, bila saya bilang, Allah itu Satu, Allah itu Allah semua orang? saya jadi ingat satu cerita dari penulis yang saya kagumi, Anthony De Mello, begini ceritanya, Si Pengkotbah bertekad untuk memancing Sang Guru agar memberikan pernyataan yang jelas tentang kepercayaannya akan Allah. "Apakah Guru percaya akan adanya Allah?" "Tentu saja," kata Sang Guru. "Dan bahwa Ia membuat segala sesuatu. Apakah Guru percaya itu?" "Ya, ya" kata Sang Guru, "Saya sangat percaya itu." "Dan siapa yang membuat Allah?" "Engkau," kata Sang Guru. Pengkotbah itu terperanjat. "Maksud Guru, sayalah yang membuat Allah?" "Allah seperti yang selama ini engkau pikirkan dan bicarakan...Ya!" kata Sang Guru dengan tenang. Arogansi, pehaman dangkal dan fanatisme sempit benar-benar sudah mengecilkan Keberadaan Allah sendiri, lalu mulai menghakimi sesama, seolah diri sendiri benar, celaka lagi, bila ini dibumbui dengan emosi pribadi yang meluap-luap sehingga, satu fitnah disusul fitnah lain, mulai menyudutkan, mulai mencari dukungan kesana kemari, saya diam, melihat dan mendengar, mencoba lebih mambangkitkan kesadaran bahwa, berbagai perangai dengan ekses perbuatan yang dihasilkan, juga harus dihormati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun