Mohon tunggu...
Ruslan Yunus
Ruslan Yunus Mohon Tunggu... Peneliti dan Penulis -

Belajar Menyenangi Humaniora Multidisipliner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berbelanja dan Bersedekah

4 Maret 2019   09:24 Diperbarui: 6 April 2019   09:36 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ketika kita sampai di pasar atau di mall, seringkali, apa yang kita rencanakan sebelumnya untuk dibeli bisa begitu saja berantakan. Kita membeli apa yang sebenarnya tidak atau kurang kita butuhkan. Yang kita butuhkan, malah tidak kita beli". Begitu kata seorang teman senior kami.

"Yang lebih ironi lagi",  kata teman senior itu melanjutkan, "bila barang yang kita beli itu sudah kita miliki. Padahal kita tak membutuhkan tambahan, setidaknya untuk saat itu".

"Tapi bukankah kalau barang itu, taruhlah contoh paling sederhana "piring makan", makin banyak tersedia di rumah makin baik, pak haji?", kami sontak menyela seakan tak sepaham. Kami memanggilnya pak haji karena ia telah berhaji beberapa tahun yang lalu.

"Oke. Tapi bila sudah cukup, mengapa terus ditambah? Bukahkah kalau kita bersantap, setiap orang hanya memerlukan "satu" piring makan saja?  Tidak ada piring makan khusus untuk hari Senin, khusus untuk hari Selasa, dan seterusnya", kata teman senior itu lagi. Kalimat terakhir pak haji ini membuat kami tak mampu menahan tawa.

****

Mengapa kita berbelanja suatu barang (goods) atau jasa (services) yang sebenarnya tidak kita butuhkan, atau setidaknya bukan prioritas untuk dibeli? Mengapa pula kita membeli barang (atau jasa) serupa, yang sebenarnya sudah kita punyai? Atau dalam jumlah unit yang melampaui dari yang sebenarnya kita perlukan? Apakah berbelanja "berlebih- lebihan" ini adalah salah satu bentuk dari Compulsive Buying Disorder (CBD), kelainan atau gangguan prilaku berbelanja yang kompulsif?

Menurut Shahram Heshmat dari Economics Department, University of Illinois, Springfields Amerika Serikat,  CBD dicirikan oleh suatu keasyikan" yang berlebihan atau kontrol diri yang "buruk" di dalam melakukan aktivitas berbelanja. Dan ini dilakukan secara berulang- ulang. 

Hal diatas dikemukakan oleh Heshmat di dalam  Five Patterns of Compulsive Buying Disorder,  Psychology Today, Jun 12,  2018.

Bila prilaku berbelanja seperti ini diperturutkan, dapat berimplikasi buruk pada pengaturan keuangan keluarga. Anggaran belanja kebutuhan dasar dapur defisit. Anggaran belanja sekolah anak- anak terganggu. 

Kalau begini, mungkin berakibat kita tak bisa lagi bersedekah kepada orang lain, yang sangat membutuhkan uluran tangan kita. Padahal berzakat dan bersedekah telah menjadi kebiasaan kita selama ini.

Meski tidak dikategorikan sebagai suatu bentuk adiksi atau ketergantungan, CBD menurut Black DW dan koleganya, memiliki ciri umum yang serupa dengan ciri ketergantungan (Psychiatry Research: Neuroimaging, 200 (2), 2012).

Nah..., berikut ini Heshmat (2018) telah berbaik hati memberikan kita klu:  lima pola CBD -- yang sebagian nya dikutip dari beberapa sumber-- yang  perlu kita waspadai di dalam  melakukan aktivitas berbelanja. Termasuk sayapun, perlu mewaspadai nya.

Yang pertama adalah impulsive purchase. Pada pola berbelanja ini, kita membeli suatu barang atau jasa dengan hanya mengikuti impuls atau dorongan kata "hati". Tanpa pertimbangan yang matang terlebih dahulu. Ironinya bila kita menjadi keseringkan mencoba menyembunyi kan habit berbelanja ini. 

Padahal pola berbelanja seperti ini bisa berakibat banyak barang- barang yang sudah kita beli, langsung disimpan dan ditumpuk begitu saja. Karena mungkin sebenarnya, "tak begitu- begitu amat" kita butuhkan. Dan mungkin barang- barang itu hanya akan menjadi "sampah" di rumah kita.

Yang kedua adalah buyers high.  Disini kita menikmati "kehebohan" berbelanja yang mengasyikkan. Euporia berbelanja ini (merasa "senang" atau powerfull) bukan karena kita memperoleh barang atau jasa belanjaannya, tetapi lebih karena "aksi berbelanja" kita yang "heboh" itu.  Hahahaha.....

Kehebohan berbelanja ini biasanya terjadi bila kita melihat suatu barang (atau jasa) yang diinginkan dan langsung memutuskan membelinya. Yang perlu diwaspadai, pola berbelanja ini berpotensi menjadi adiksi

Yang ketiga adalah shopping to dumpen unpleasant emotions. Pola berbelanja ini merupakan suatu cara untuk mengisi kekosongan emosional kita. Seperti perasaan kesendirian, rendahnya kontrol dan rendahnya kepercayaan diri. Seringkali suatu mood negatif, misalnya argumen atau emosi akan memicu "pembenaran" cara berbelanja kita ini. 

Emosi negatif ini bisa saja berkurang, tetapi sifatnya hanya sementara. Ia akan segera digantikan oleh perasaan keterasingan (anxiety) atau perasaan bersalah.

Yang keempat adalah guilt and remorse. Pola berbelanja ini diikuti oleh rasa penyesalan. Kita merasa bersalah, tapi merasa tidak bertanggung jawab karena berpendapat bahwa berbelannja itu "suka- suka hati". Kondisi ini bisa menciptakan lingkaran setan yang menghasilkan perasaan negatif lain yang menyulut suatu "penyesuaian" baru. Yaitu berbelanja lagi barang berikutnya.

Yang kelima adalah the pain of paying. Membayar secara tunai boleh jadi terasa lebih "menyakitkan" (painful) dari pada membayar dengan kartu kredit. Padahal pendorong fsikologis utama berbelanja dengan kartu kredit adalah karena kita memisahkan dua hal itu. Antara kenikmatan berbelanja saat ini dan painful saat menebus utang kredit yang jatuh tempo.

****

Bukankah kita telah diajarkan untuk makan dan minum, tetapi makan dan minum yang tak berlebih- lebihan?  Seperti itu pulalah kita diajarkan berbelanja yang tak berlebih- lebihan. Berbelanja makanan, pakaian, tas pesta, perabotan, asesori, kuota, fesyial, fun dan seterusnya. 

"Secukup" yang kita butuhkan saja. Dengan cara begini, berbelanjanya dapet. Berzakat dan bersedekah nya pun juga, Insya Allah, dapet. Bersedekahnya bisa ditambah lagi, bu haji? (Saya coba lihat foto diatas).

Catatan                                                                                 Diinspirasi dari cerita pengalaman Ian Thamrin, salah seorang teman sekantor saya. Terima kasih, pak Ian.

Bukit Baruga- Makassar, 04 Maret 2019.                          

kompasiana@ruslanyunus. Copy rights reserved.
Sumber foto ilustrasi: NET News 2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun