Dalam dinamika dunia pendidikan yang terus berkembang, pendekatan terhadap pengawasan dan pembinaan guru pun harus ikut bertransformasi. Salah satu konsep yang kian relevan dan dibutuhkan saat ini adalah supervisi berdiferensiasi---sebuah pendekatan yang menghargai keberagaman gaya belajar, kebutuhan profesional, dan tingkat pengalaman guru di sekolah.
Mengapa Supervisi Perlu Berdiferensiasi?
Selama ini, sistem supervisi seringkali dilakukan secara seragam, seolah semua guru berada pada titik dan kebutuhan yang sama. Padahal, seperti halnya siswa, guru juga memiliki kebutuhan yang berbeda dalam hal dukungan profesional. Glatthorn (1997) menyebutkan bahwa supervisi berdiferensiasi memberikan ruang bagi guru untuk memilih jenis layanan pembinaan dan evaluasi yang paling sesuai dengan kebutuhannya. Ini menjadikan guru sebagai aktor sentral dalam pengembangan dirinya sendiri.
Konsep ini menolak pendekatan one-size-fits-all yang banyak diterapkan di sekolah. Supervisi yang seragam cenderung mengabaikan realitas bahwa tidak semua guru membutuhkan jenis dukungan yang sama, bahkan sering kali mengaburkan esensi dari supervisi itu sendiri.
Tiga Pendekatan Supervisi Berdiferensiasi
Supervisi berdiferensiasi dapat diwujudkan melalui tiga pendekatan utama:
- Supervisi Klinis -- Cocok bagi guru yang masih membutuhkan arahan langsung dan struktur formal.
- Pengembangan Kooperatif (Collaborative Development) -- Melalui penelitian tindakan atau diskusi reflektif kolektif.
- Self-Directed Development -- Memberi ruang bagi guru berpengalaman untuk mengembangkan diri secara mandiri.
Pemilihan pendekatan ini bukan sekadar teknis, melainkan bentuk pengakuan atas profesionalisme guru.
Peran Guru Master sebagai Supervisor
Dalam supervisi berdiferensiasi, guru master berperan sebagai mentor sejawat, bukan sebagai atasan yang menilai. Mereka berfungsi membantu, bukan menghakimi. Di sinilah terjadi pemisahan peran antara pengawas dan administrator.
Guru cenderung lebih terbuka pada rekan sejawat yang setara statusnya dibanding kepada atasan langsung seperti kepala sekolah. Supervisi sejawat mendorong komunikasi yang jujur dan kolaboratif, sehingga proses pembinaan menjadi lebih bermakna dan berdampak langsung pada kualitas pembelajaran.
Kepala Sekolah Bukan Pengawas Utama