Mohon tunggu...
Ulil Aydi
Ulil Aydi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hukum / Sosiologi / ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bagaimana Hukum Islam Perjodohan di Kalangan Pesantren dan Berpasangan di Luar Nikah?

7 Oktober 2022   20:33 Diperbarui: 8 Oktober 2022   13:30 1566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam pondok pesantren terkadang bahkan sering kita lihat, beberapa santri putra dijodohkan dengan santri putri oleh pengampu atau ustadznya, atau sebaliknya, kemudian menikah. Ada juga seorang ustadz di jodokan dengan menikahi seorang santriwatinya, atau sebaliknya. Hal ini, sering kita jumpai dalam realitas dunia pesantren. Mungkin dalam perjodohan ada yang menerima ada pula yang tidak.


Sering kita jumpai juga, seorang ustadz atau kyai mengawinkan anak perempuan atau anak laki- laki mereka dengan muridnya yang pandai, terutama masih ada hubungan kedeketan atau keluarga dekat seorang kyai. Sehingga santri/ atau muridnya dipersiapkan dengan matang dan mumpuni dalam segala bidang, sebagai calon yang potensial untuk meneruskan perjuangan dalam kehidupan pesantren kelak serta dapat meneruskan estafet kepemimpinan pesantren di masa yang akan datang. Mungkin dengan hal ini, ada yang menerima juga ada yang belum bisa menerima dengan hal ini, Apakah dengan perjodohan terkesan memaksa atau bisa menjadi hal yang tabu? Bagaimana jika kita lihat di era ini ?


Tidak jarang kita temui bahwa kehidupan saat ini, mengenai perjodohan dianggap hal yang tidak adil dan terkesan memaksa. Bahkan kita sering mendengar untaian “ wes rak zamane dijodohke” ( Sudah tidak zamannya dijodohkan). Banyak faktor mengenai hal ini, merasa dipaksakan, merasa tidak bahagia, tidak ada rasa untuk saling menyukai, bahkan terkesan sudah hilang harapan untuk kehidupan seakan indah yang diimpikannya.


Apalagi di era sekarang, dalam kehidupan generasi Z, sudah sangat tidak asing mengenai mempunyai pasangan kekasih diluar nikah atau sering kita dengar yaitu pacar. Coba kita lihat di berbagi media sosial bersama seorang kekasih yang belum terikat dalam pernikahan yang sah. Bahkan sering kita jumpai, disekitar kita dalam meluapkan kejenuhan dengan staycation bersama sang kekasih yang belum terikat perkawinan secara sah sering terjadi pula.


Bahkan sering kita jumpai dalam realitas hari ini, bercumbu rayu dengan pacar bagai seorang suami istri dalam berumah tangga menjadi hal yang tidak tabu lagi. Dalam hal kongkow bersama coba, kalau tidak mempunyai seorang pacar seakan menjadi bahan ejekan sana-sini, bahkan menjadi bahan lelucon yang asik untuk diperbincangakan. Sudah tidak heran lagi, bahwa dampak yang akan terjadi ialah seperti ketagiahan emosional dan hasrat seksual, bahkan juga sampai pada terjadinya hamil diluar nikah, kekerasan yang terjadi dalam hubungan, dan perselingkuhan yan terjadi sesudah pernikahan.


Bagaimana jika perjodohan kita tinjau dalam perspektiif hukum Islam?


Dalam mayoritas masyarakat berasumsi bahwa perjodohan seakan menjadi momok, karena ada unsur pemaksaan sehingga apabila melalui perjodohan dalam pernikahan seakan menjadi tidak harmonis dan tidak langgeng.


Dalam perjodohan jika  ditinjau dari kompilasi hukum islam pasal 16 ayat (1) dan (2). (1) perkawinan didasarkan atas pesetujuan calon mempelai. (2) Bentuk persetujuan mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tlisan, lisan, atau isyarat tapi dapat juga berupa diam  dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas. 
Mungkin, perjodohan yang dilaksanakan dalam kalangan pesantren terkesan memaksakan putra-putrinya. Padahal, persetujuan kedua calon sangatlah penting, agar terciptanya keharmonisan dalam berumah tangga yang sakinah, mawadah, warahmah. Perkawinan yang banyak dilaksanakan di keluarga kyai atau ustadz pesantren ialah dengan konsep endogami yaitu dengan cara ditawarkan tanpa ada pemaksaan , walaupun dalam keluarga kyai atau ustadz melangsungkan pernikahan melalui perjodohan akan tetap terjalin dengan harmonis.


Dalam sebuah hadits yang diriwyatkan oleh imam muslim, yakni :

وَحَدَّثَنَا قُتَيۡبَةُ بۡنُ سَعِيدٍ: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ، عَنۡ زِيَادِ بۡنِ سَعۡدٍ، عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ الۡفَضۡلِ، سَمِعَ نَافِعَ بۡنَ جُبَيۡرٍ يُخۡبِرُ، عَنِ ابۡنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: (الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفۡسِهَا مِنۡ وَلِيِّهَا، وَالۡبِكۡرُ تُسۡتَأۡمَرُ وَإِذۡنُهَا سُكُوتُهَا).

”Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami: Sufyan menceritakan kepada kami, dari Ziyad bin Sa’d, dari ‘Abdullah bin Al-Fadhl, beliau mendengar Nafi’ bin Jubair mengabarkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya. Adapun perawan dimintai pendapatnya dan izinnya adalah diamnya.”


Dalam hal ini, perjodohan pada anak perempuan yang masih perawan dan telah baligh dan berakal dapat meminta izin kepadanya, dan diam pada si anak adalah jawaban sebagai persetujuannya. Berbeda pula pada seorang janda yang dijodohkan oleh orang tuanya, harus memperoleh izin dari janda tersebut tidak cukup hanya sekedar diam saja.


Adapun mengenai wali nikah, tidak boleh wali menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki yang tidak disukai. Wali berkewajiban untuk menanyai anak perempuannya dengan meminta pendapat bahwa laki-laki yang akan dijodohkan, apakah meneriama ataukah menolaknya.


Adapun mengenai hak ijbar (memaksa) dalam islam dimiliki oleh wali mujbir, namun saja, bukan berarti wali mujbir berhak menjdohkan anaknya tanpa adanya persetujuan dengan anaknya. Di dalam islam, hak ijbar dimaknai dengan arahan atau bimbingan seorang wali kepada putrinya untuk menikah dengan pasangan yang sesuai. Maka keikhlasan kerelaan, dan izin dari seorang anak ialah hal yang tidak bisa diabaikan. Karena seorang anak yang nantinya akan menjalani kehidupan berumah tangga.


Dalam hal perjodohan dikalangan pesantren tidak lepas dari yang namanya dialog atau penawaran terlebih dahulu kepada anak yang akan di jodohkan. Di lain sisi, untuk menjaga nasab atau keturunan dalam keluarga pesantren.


Bagaimana berpasangan diluar nikah dalam prespektif hukum Islam?


Meski sering kita lihat, bahwa dalam berpasangan diluar pernikahan diera hari ini tidak dapat dipungkiri lagi. Namun, kegiatan bersama pasangannya yang bukan mahramnya dapat mendekatkan pada praktik perzinaan wajib untuk dihindari. Rasulullah SAW Bersabda:

“Jangan sesekali seorang laki-laki berkhalwat (berduaan) dengan seorang perempuan kecuali disertai mahramnya, dan janganlah seorang perempuan melakukan perjalanan kecuali beserta mahramnya.” (H.R. Bukhari)


Kegiatan yang dilakukan dengan pasangan diluar nikah dan hanya berdua-duan maka hal ini merupakan salah satu kegiatan atau aktifitas yang dilarang dalam islam. Alla SWT berfirman,

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. Al-Isra: 32)


Perlu kita sadari belum tentu pacar atau pasangan yang di idam-idamkan ialah menjadi suami atau istri kamu kelak. Semoga kita dapat menjaga dari hal tersebut hingga dapat menjalankan sunnatullah dengan melangsungkan ke jenjang pernikahan. Semoga dianugrahkan pasangan dan keturunan yang baik yang dapat menyenangkan hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun