Merah Putih - One for All, Ketika Kritik Anak Membuatku Mikir Panjang
Ketika berita viral soal film animasi Merah Putih - One for All ramai di media sosial, kedua anakku langsung menunjukkan trailernya di YouTube. Sambil menyeringai, mereka berkomentar:
"Mami, ini film buatan Indonesia modalnya 6,5 M, tapi kok hasilnya jelek banget."
Aku yang saat itu belum tahu soal kontroversi di balik film ini hanya bisa ikut mengangguk. "Iya ya, kok jelek banget. Jangan-jangan ini bukan trailer aslinya, mungkin hasil editan orang?" Begitu kira-kira respon spontan dariku.
Beberapa hari kemudian, mereka kembali dengan kabar baru. "Mami, ternyata modalnya bukan 6,5 M, tapi cuma satu juta."
Aku pun bertanya, "Kalau modalnya segitu, berarti filmnya sudah cukup oke dong?"
Tapi anak sulungku menjawab santai, "Tetap jelek sih, Mi."
Komentar itu mungkin terdengar sok tahu banget sih bocil, tapi jujur bukan kali pertama aku dan anak-anak berdiskusi tentang tontonan. Aku kerap nonton bareng anak-anak baik di sebuah platform atau ke bioskop.Â
Beberapa film pilihan anak justru membuat aku terlelap di bioskop dan menurut mereka itu karena aku nggak interest aja padahal filmnya bagus. Sebaliknya mereka kadang juga boring atas judul pilihanku karena alur cerita nya memang nggak ngena ke dunia anak, artinya mereka paham bagaimana menikmati sebuah film.
Lantas mengapa mereka bisa bilang trailer Merah Putih One for All kualitasnya jelek? Bisa jadi karena mereka adalah Generasi Alpha yang terbiasa menikmati konten dengan kualitas visual yang "wah." Kedua anakku hobi main game Roblox, terbiasa menonton konten kreator dunia, dan bahkan si sulung mencoba bikin konten sendiri.
Nah, menariknya ketika film animasi Indonesia lain berjudul Jumbo tayang di bioskop, kedua anakku justru mengajakku menonton dengan semangat. Kata mereka, "Mami nonton film Jumbo yuk, ini film animasi buatan Indonesia sekelas Pixar loh." Bahkan aku tersenyum karena menurutku mereka terjebak konten promosi doang dan ketika kami menonton akupun setuju dengan mereka bahwa animasi Jumbo kemarin memang lebih baik dari film animasi Indonesia lain makanya ketika selesai menonton, si sulung tersenyum puas sambil berkata, "Tuh kan, bisa kan orang Indonesia bikin film animasi keren."
Dari situ aku sadar, anak-anak bukan sekadar suka mengkritik. Mereka juga tahu bagaimana rasanya kagum pada karya yang menurut standar mereka memang pantas dipuji. Jadi komentar pedas terhadap Merah Putih - One for All bukan semata-mata tak menghargai karya orang lain, tapi perbandingan jujur dari pengalaman mereka menonton karya lokal lain yang kualitasnya lebih baik.
Keterangan: Salah satu konten yutub anakku yang ditonton sampai 1juta lebih
Sebagai anak yang membuat konten game Roblox di YouTube, si sulungku menurutku cukup profesional. Meski hanya menggunakan PC dan tools seadanya, dia tahu betul bahwa karya yang bagus butuh dukungan alat dan modal. Jadi wajar kalau dia punya standar tersendiri saat menilai kualitas visual sebuah animasi.
Apalagi dengan kehadiran AI, anak-anak makin terbiasa melihat visual yang rapi dan mengagumkan. Bahkan beberapa netizen sempat me-remake trailer Merah Putih - One for All dengan bantuan AI, dan hasilnya memang terlihat jauh lebih mulus daripada versi aslinya.
Meski begitu, rasa penasaran tetap ada. Kedua anakku sempat ingin menonton Merah Putih - One for All di bioskop, tapi akhirnya batal setelah teman-temannya meledek, "Yaelah, ngapain sih nonton film cupu?"
Mereka pun mundur, entah karena takut diejek atau memang kehilangan minat. Aku hanya menimpali, "Ah, paling nanti juga akan tayang di Netflix atau Disney. Seringnya begitu kan dengan film Indonesia, jadi santai aja."
Di titik ini aku menyadari sesuatu. Kritik bukan berarti tidak mendukung, dan apresiasi tidak harus selalu dibungkus kata-kata manis. Anak-anak zaman sekarang lebih realistis: mereka bisa mengkritik dengan keras, tapi juga bisa memberikan pujian tulus ketika memang pantas.
Buatku pribadi, Merah Putih - One for All adalah contoh menarik tentang bagaimana karya lokal akan selalu diuji di era keterbukaan digital. Mungkin benar kualitas visualnya masih jauh dari Pixar, mungkin juga banyak kekurangan di sana-sini. Tapi tetap saja, keberanian untuk berkarya itu patut diapresiasi.
Dan yang lebih penting, film ini membuka diskusi di rumah kami---tentang kualitas, tentang kritik, tentang bagaimana anak-anak melihat karya lokal. Itu saja menurutku sudah menjadi sumbangsih berharga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI