Mohon tunggu...
ULFIANA
ULFIANA Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Gizi Universitas Hasanuddin

Saya seorang mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di program studi Ilmu Gizi Fakultas Keesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Inovasi Produk Pangan Fungsional Berbasis Biofortifikasi Eucheuma Cottonii Menggunakan Model Pentahelix untuk Penanganan Stunting di Kabupaten Pangkep

25 September 2025   18:49 Diperbarui: 25 September 2025   18:49 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Pendahuluan

Permasalahan ketahanan pangan dan gizi telah menjadi isu global dalam satu dekade terakhir. Meskipun, produksi pangan terus meningkat secara global, kelaparan masih menjadi masalah berkepanjangan. Pada tahun 2023, lebih dari 700 juta orang mengalami kekurangan gizi, mayoritas di antaranya tinggal di Asia (FAO, 2024). Di Indonesia, permasalahan gizi, khususnya stunting, masih menjadi perhatian serius. Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 menunjukkan prevalensi stunting menurun menjadi 19,8% dari tahun-tahun sebelumnya (Kemenkes, 2025). Namun, angka ini masih jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 pada tahun 2029, yaitu sebesar 14,2%. Sementara itu, prevalensi stunting di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan mencapai 22,7% (SSGI, 2024). Angka ini melebihi prevalensi nasional, mengindikasikan bahwa stunting merupakan masalah signifikan di Kabupaten Pangkep.

Berbagai program intervensi telah dilakukan di Kabupaten Pangkep, seperti Laras Hati (edukasi lintas OPD dan pemberian PMT pada balita stunting), Mega Macca (pemenuhan gizi 1000 HPK), serta Perahu Sehat Pulau Bahagia (Pelayanan puskesmas secara mobile di wilayah kepulauan). Namun, menurut penelitian Idrus et al. (2025), intervensi ini masih belum optimal karena komunikasi lintas sektor yang kurang efektif dan distribusi PMT yang belum tepat sasaran. Hal ini mengindikasikan perlunya sinergitas lintas sektor dan pemanfaatan kearifan lokal dalam penanganan masalah stunting.

Salah satu potensi lokal yang dapat dimanfaatkan adalah rumput laut Eucheuma cottonii, komoditas unggulan Sulawesi Selatan yang produksinya mencapai 202.552 ton per tahun di Kabupaten Pangkep (DKP Sulsel, 2016). Meskipun, Eucheuma cottonii kaya serat pangan dan berpotensi sebagai sumber protein, serta zat gizi mikro esensial, kandungan zat gizi spesifik, seperti protein, zat besi, seng, dan beta-karoten di dalamnya masih relatif rendah untuk mencegah stunting. Selain itu, pemanfaatan hasil budidaya Eucheuma cottonii masih belum optimal karena hasil panen umumnya dijual mentah atau kering tanpa pengolahan lebih lanjut sebagai bahan pangan.

Menyikapi hal tersebut, biofortifikasi sangat diperlukan untuk meningkatkan kandungan protein, zat besi, seng, dan beta-karoten pada Eucheuma cottonii. Biofortifikasi merupakan pendekatan inovatif untuk meningkatkan kandungan nutrien melalui teknik agronomis dan suplementasi mikroelemen. Pendekatan biofortifikasi diintegrasikan dengan konsep diversifikasi pangan berbasis Eucheuma cottonii yang difortifikasi untuk meningkatkan gizi kelompok rentan. Implementasinya adalah produk yang mudah diterima, seperti MP-ASI untuk mencegah stunting, jeli bergizi tinggi untuk ibu hamil, serta kerupuk rumput laut untuk remaja putri.

Inovasi produk hilir ini akan diekselerasi melalui pendekatan model pentahelix yang melibatkan pemerintah, masyarakat, sektor swasta, akademisi, dan media. Pendekatan ini menekankan pada sinergitas berbagai lintas sektor dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya penanganan stunting. Pendekatan ini diyakini mampu mengatasi kelemahan intervensi yang telah dijalankan dengan menciptakan solusi berbasis kearifan lokal, mendorong kemandirian ekonomi, dan memastikan program dapat diterima serta dijalankan secara berkelanjutan oleh masyarakat. Dengan adanya inovasi ini, diharapkan angka stunting di Kabupaten Pangkep dapat menurun secara signifikan sekaligus meningkatkan ketahanan pangan, nilai tambah ekonomi, dan kualitas hidup masyarakat pesisir secara berkelanjutan.

ISI

Biofortifikasi merupakan pendekatan inovatif untuk meningkatkan kandungan zat gizi Eucheuma cottonii yang tergolong rendah. Salah satu pilar ketahanan pangan, yaitu pemanfataan pangan.  Eucheuma cottonii merupakan sumber serat pangan yang tinggi dan berpotensi sebagai sumber protein, tetapi selama ini pemanfataannya terbatas pada penjualan mentah atau kering tanpa pengolahan lebih lanjut sebagai bahan pangan (Thahirah, 2024). Kandungan zat gizi dalam rumput laut Eucheuma cottonii dapat bervariasi tergantung pada varietas, metode penanganan, umur panen, dan kondisi lingkungan perairan tempat budidaya dilakukan (Safia et al., 2020). Eucheuma cottonii mengandung seng sebesar 0,106 mg per 100 gram, zat besi dalam cookies menggunakan olahan tepung terigu rumput laut Eucheuma cottonii sebesar 42 ppm, beta-karoten sebesar 0,09 ppm, dan kandungan protein sebesar 1,90 gram per 100 gram bahan. Dibandingkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2019 tentang Angka Kecukupan Gizi, kandungan zat gizi spesifik dalam Eucheuma cottonii relatif rendah. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan biofortifikasi untuk meningkatkan nilai gizinya. Upaya ini dapat dilakukan dengan pendekatan agronomi ditingkat hulu yang diintegrasikan dengan pengembangan produk olahan berbasis Eucheuma cottonii yang dibiofortifikasi ditingkat hilir untuk pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, terutama kelompok rentan. Inovasi ini didukung oleh pendekatan pentahelix guna memastikan keberlanjutan program dan meingkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam penanganan stunting.

Strategi Optimalisasi Budidaya Eucheuma cottonii Melalui Biofortifikasi

Strategi biofortifikasi agronomi untuk meningkatkan kandungan zat besi (Fe) dan seng (Zn) yang masih jauh dari AKG (Laili, et.al. 2023) akan diterapkan menggunakan nano-pupuk berbasis hydrogel biodegradable. Penelitian oleh Bhardwaj et al., (2024) menunjukkan bahwa hidrogel ini mampu melepaskan sekitar 50% ion Zn dan Cu dalam 10 hari pertama, diikuti oleh fase pelepasan lanjutan yang menjamin ketersediaan nutrien secara berkelanjutan sepanjang siklus pertumbuhan tanaman. Teknik ini memanfaatkan alginate hydrogel sebagai media pembawa (carrier) bagi nanopartikel ZnO dan γFe₂O₃. Penggunaan γFe₂O₃ (maghemite) NPs pada tanaman mampu meningkatkan bioavailabilitas besi secara signifikan.

Alginat merupakan biopolimer alami yang dapat mengenkapsulasi nutrien. Proses ini menghasilkan butiran kecil (1–5 mm) yang menyimpan ion Zn dan Fe dan mampu melepasnya secara bertahap di lingkungan perairan. Pendekatan ini diintegrasikan melalui metode budidaya long-line di Kabupaten Pangkep. Pupuk diformulasikan dengan mencampurkan larutan sodium alginate dengan larutan ZnSO₄ dan FeSO₄, kemudian diteteskan ke dalam larutan kalsium klorida (CaCl₂)untuk membentuk butiran gel. Butiran ini kemudian dimasukkan dalam kantong biodegradable yang diikat pada tali budidaya atau disisipkan di antara bibit. Hydrogel akan menyerap air laut dan secara perlahan melepaskan ion Fe dan Zn yang akan diserap oleh talus rumput laut. Proses ini didukung oleh kondisi perairan Pangkep (suhu 28–30°C, salinitas 30–35 ppt, arus ringan) dan tidak meninggalkan limbah sintetis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun