Mohon tunggu...
Siti Ulfa Miana
Siti Ulfa Miana Mohon Tunggu... Penulis - Seorang kriminal pemikiran

Cerpen Tikus-Tikus Got di Majalah Pewara Dinamika adalah cerpen tunggal pertamanya. Sedang mengaktifkan menulis di perkebunan.org. Bisa dihubungi melalui email sitiulfamiana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Akankah Sastra Koran Menjadi Ajang Pembusukan Diri?

27 Maret 2024   22:33 Diperbarui: 27 Maret 2024   22:37 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari Wikiart.org.

Bagi beberapa orang, honor menulis tidaklah penting. Hal yang terpenting adalah berpendapat sebanyak-banyaknya melalui tulisan. Kemudian terus berpendapat, tak pernah terputus. Seperti yang kita semua tahu, syarat diakui atau tidaknya sebuah karya adalah ketika karya itu bisa melewati berbagai rintangan, maksudnya selera redaktur.

Tips yang aman agar karya bisa dipertontonkan pada sebuah media adalah membaca semua karya yang masuk. Melihat wacana-wacana kekinian termasuk keterikatan redaktur dengan pihak lain atau sponsor. Maka jelaslah bagi beberapa pemalas, ini termasuk hal yang melelahkan. Bukan hanya beberapa teks yang harus dibaca tetapi ratusan bahkan ribuan teks guna menembus hati dan jantung redaktur.

Kemudian muncul celah dan pendapat yang meresahkan, "Semakin tinggi honor menulis, maka semakin sulitlah media itu ditembus." Benarkah demikian? Kita bisa lihat sastra koran. Kita semua tahu koran apa yang paling bergengsi negeri ini. Beberapa orang yang menyerah mengirimkan teks sastra ke koran tersebut, sekarang malah beralih untuk mengisi Teka Teki Silang (TTS) di koran. Lumayan, uang Rp 250.000 dapat dikantongi dengan aman di rekening.

Sebagai orang yang menyukai cerita, saya termasuk orang yang paling susah menulis cerita. Mungkin seperti yang dikatakan Budi Darma, saya tipe orang yang melihat sastra sebentar kemudian tidur. Keresahan tidak tembusnya ke media bergengsi terkadang membuat perasaan gagalnya menjadi lulusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Wong, bukan lulusan yang tidak ada kaitan sastra saja bisa, masa yang lulusannya tidak bisa.

Keresahan demi keresahan semakin menjadi-jadi ketika seorang teman terus menerus memamerkan karyanya di grub kelas. Ketika dibaca karyanya, memanglah karya itu penuh data yang akurat lagi kompleks, sampai-sampai di tiap kalimat ada istilah yang jarang diketahu orang.

Lalu bagaimana dengan kejadian serupa? Orang-orang yang memiliki gaya tulisan yang tidak sekompleks itu akankan dikatakan tidak bisa menulis? Banyak kok karya yang dikatakan tidak bermutu, tetapi bisa masuk ke jajaran karya yang laris terjual. Jadi patutkah sebuah media bisa dijadikan acuan kepandaian menulis? Sebagai saran kualitas boleh, hanya jangan terlalu menjadi busuk hanya untuk mengejar suatu kualitas. Sebagai penulis, hal yang diperlukan hanyalah menulis, masalah diterima tidaknya suatu tulisan, itu hal belakang.

Jadi, jangan pernah berpikir untuk menjadi orang lain, termasuk memiliki minat seperti minatnya orang lain. Ingat! menjadi orang yang berhasil membutuhkan 89% kerja keras, itu yang paling memengaruhi, bukan 11% bakat. Boleh mematok media bergengsi untuk ajang pembuktian diri. Namun, jangan hanya karena tidak lolos seleksi lantas menjadikan diri sendiri sebagai penulis yang paling gagal. Seperti Joko Pinurbo, Sapardi Djoko Damono, J.K Rowling, mereka perlu waktu yang panjang menjelang karyanya dikenal. Toh bukan itu inti dari semua masalah kepenulisan. Ketiadaan memulai menulis adalah masalahnya. Tentang tujuan juga harus diperhatikan: entah sebagai sindiran, kritik, atau hanya sebagai gurauan belaka. Tulisan haruslah bisa dipublikasikan agar bisa dinikmati banyak orang. Jangan karena satu tujuan media penulisan yang terkenal itu kita menjadi merasa orang yang busuk lantas tidak berguna. Teruslah menulis. Menulis adalah bentuk keabadian, kata Sapardi Djoko Damono.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun