Mohon tunggu...
Ofi Sofyan Gumelar
Ofi Sofyan Gumelar Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Warga Kota | Penikmat dan rangkai Kata

Today Reader Tomorrow Leader

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Belanja Online Tanpa Was-was dengan Uangku

24 Desember 2016   22:10 Diperbarui: 25 Desember 2016   14:13 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
UANGKU Menjamin Belanja Online Aman (Sumber: Dokpri)

Tak bisa dipungkiri, smartphone dan internet telah banyak merubah gaya hidup kita. Bukan hanya soal cara bersosialisasi yang kian bergantung pada media sosial serupa Facebook, Twitter atau Instagram, tetapi juga gaya berbelanja kita. Kini, belanja online sudah menjadi hal yang jamak bagi masyarakat kita.

Soal ini, mari kita lihat data statistika transaksi online di Indonesia. Harian kompas edisi 9 Desember 2016 dalam artikel Peluang Pembiayaan Keuangan Digital menulis bahwa transaksi perdagangan secara elektronik atau e-dagang  hingga akhir tahun 2016 ini diperkirakan mencapai 20 miliar dollar AS dan pada 2020 potensinya mencapai 130 miliar dollar AS. Angka ini sebenarnya tak mengherankan, mengingat berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika jumlah pengguna internet di Indonesia tahun 2015 sudah mencapai sekitar 92 juta pengguna dimana 19 persennya menggunakan internet untuk mencari informasi produk dan berbelanja daring. Dipastikan angka ini akan terus membengkak ke depannya.

Jumlah Pengguna Internet Di Indonesia (Sumber: kontan.co.id)
Jumlah Pengguna Internet Di Indonesia (Sumber: kontan.co.id)
Menariknya, transaksi belanja online kini tak hanya didominasi oleh portal-portal e-commerce besar seperti bukalapak, tokopedia atau yang lainnya. Di jagat media sosial, beragam online shop marak bermunculan meramaikan pasar online. Dailysocial.id menyebutkan dari tujuh media penjualan online (forum jual-beli, media sosial, mailing list,blog,online store,messenger dan komunitas online), ternyata media sosial menempati peringkat pertama sebagai tempat yang paling banyak dimanfaatkan oleh pedagang daring di Indonesia, tepatnya sebesar 64,9%.

Sebagai pemilik dan pengguna aktif tiga akun media sosial (Facebook, Twitter dan terutama Instagram), saya mengamini fakta diatas. Setiap kali membuka akun medsos, manakala baru satu atau dua sapuan jari saja melihat update status teman, saya sering menjumpai akun-akun penjual online disana. Jujur, kadang saya tak dapat menghindari godaan untuk sekedar melihat-lihat bahkan lanjut berbelanja di sana.

Setidaknya ada dua alasan mengapa saya senang belanja online melalui media sosial atau istilah ngetrend nya social shopping. Fyi, social shopping itu artinya kegiatan jual beli online dengan menggunakan platform media sosial, bukan di portal e-commerce.

Definisi Social Shopping (Sumber: @UANGKUID)
Definisi Social Shopping (Sumber: @UANGKUID)
Pertama, social shopping tuh praktis. Saya tidak harus direpotkan dengan urusan sign up dan login-loginan seperti di portal e-commerce. Saya cukup follow akun medsos mereka untuk ngintip barang-barang yang dijualnya. Kedua, bagi saya social shopping terasa lebih personal. Ini merujuk pada cara kita berkomunikasi dengan pihak penjual. Biasanya saya cukup ngontak nomor WA atau Line-nya, dan saya bisa bertanya detail tentang barang yang akan dibeli, termasuk cara pembayaran serta pengirimannya. Ini  terasa lebih nyaman dibandingkan dengan yang serba otomatis klik klik form seperti di portal belanja.

Tapi ada juga sisi jeleknya social shopping. Pertama, saya sering diribetkan dengan urusan pembayaran yang perlu komunikasi berulang. Kira-kira begini tahapannya: seller memberi nomor rekeningnya, saya kemudian transfer pembayaran, terus saya kirim bukti pembayaran, selanjutnya saya harus menunggu konfirmasi dari si penjual jika transferan sudah diterima. Kalau beres, barulah barang dikirim. Lumayan panjang ya tahapannya?

Kedua, keruwetan muncul lagi kalau ada beda Bank yang saya gunakan dengan penjual. Tahu kan kalau beda rekening biasanya ada biaya tambahan untuk rekening antar bank? Bukan cuma itu, terkandang uang yang ditransfer ter-pending beberapa hari entah nyangkut dimana. Ini bisa menghambat proses pengiriman barang.  

Ketiga, kadang saya dibuat jengkel karena penjual tidak memberi bukti resi pengiriman barang. Entah sibuk atau mungkin juga akal-akalan mensiasati stok barang yang kurang, banyak yang menyebut barang sudah dikirim tapi tak mengirim bukti pengiriman. Padahal bagi saya, urusan resi erat hubungannya dengan masalah kepercayaan. Kalau sudah begini, saya suka kapok untuk repeat order.

Keempat, seringkali saya mendapati barang yang dikirim tidak sesuai dengan yang dipajang di akun media sosial mereka. Kalau sudah begini saya perlu mengajukan retur. Tentu prosesnya lumayan lama, kadang seller suka berkelit, kita memang bisa retur tapi kebanyakan hanya bisa ganti barang dan tak bisa kembali uang.

Kelima, ternyata social shopping rawan penipuan. Ya, biarpun saya belum pernah mengalami tipu-tipu penjual online, faktanya soal penipuan ini lumayan tinggi presentasenya. Menurut survey Kaspersky dan B2B Internasional, 26% konsumen Indonesia adalah korban penipuan online. Kalau dipikir-pikir memang riskan sih bertransaksi langsung dengan penjual yang belum kita kenal betul tanpa ada garansi apapun. Begitu kita transfer uang, apa ada jaminan kita tak tertipu? Soal ini patut saya akui kalau selama ini saya modalnya nekat percaya saja, padahal resikonya gede.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun