Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hakim Vonis Jessica Bersalah dan Lonceng Kematian Keadilan bagi Otto Hasibuan

27 Oktober 2016   21:47 Diperbarui: 31 Oktober 2016   07:21 5369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG Jessica Kumala Wongso usai menjalani sidang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (27/10/2016)

Bermula dari Empirisme vs Rasionalisme

Sebagaimana yang telah saya tulis dalam artikel sebelumnya yang mengulas masalah ini, dalam persidangan Jessica terjadi pertarungan frontal antara ‘empirisme vs rasionalisme’. Dalam artian di sini, dalam persidangan Jessica ada dua pihak yang berlawanan pandangan yang lalu berlanjut hingga ke perdebatan argumentatif pada berbagai aspek yang terkait kasus ini yang dibawa ke pengadilan Jessica. Dua pihak tersebut adalah jaksa penuntut umum (JPU) yang mendakwa Jessica VS kuasa hukum yang menjadi tim pembela Jessica. 

Di satu sisi, JPU membuat bahan dakwaan itu bukan berdasar bukti langsung yang tampak secara empirik (bahwa Jessica menaruh sesuatu ke dalam gelas kopi Mirna yang memang tak dapat ditampakkan secara jelas), tetapi lebih berdasar pada konstruksi bukti logis alias bukti tak langsung yang dirangkai dari berbagai fakta empirik yang terpotong-potong yang dipandang JPU saling memiliki keterkaitan yang mana bila dirangkai (menurut JPU) akan dapat menyingkap misteri kematian Wayan Mirna Salihin.

Dengan kata lain, dalam mencari kebenaran, JPU lebih mengacu pada prinsip ‘rasionalisme’ bahwa logika akal manusia memiliki otoritas untuk menentukan kebenaran tanpa bersandar secara mutlak selalu pada bukti empirik langsung yang tampak mata. Secara lebih spesifik bahwa dengan kekuatan nalar, kasus kematian Mirna dapat diungkap ke permukaan walau andai bukti empirik langsung yang memperlihatkan Jessica menaruh sesuatu ke dalam gelas kopi yang diminum Mirna tidak ditemukan

Di sisi lain tim kuasa hukum Jessica kukuh pada pandangannya yang bersandar pada prinsip bahwa seseorang harus didakwa dan lalu dihukum hanya berdasar pada bukti empirik langsung yang terlihat mata kepala (prinsip empirisme). Menurut tim kuasa hukum, harus ada bukti empirik yang memperlihatkan bahwa Jessica menaruh sesuatu ke dalam gelas kopi yang diminum Mirna, barulah Jessica dapat didakwa membunuh. 

Sehingga dengan prinsip ‘empirisme’-nya itu, tim pembela memandang semua dakwaan jaksa hanya disandarkan pada ‘teori-teori’. Ia menganggap ‘kebenaran rasional’ yang berupaya dibangun JPU sebagai bahan dakwaan sebagai ‘hanya sekedar teori’-persis seperti tuduhan miring kaum positivis-materialis terhadap ide-gagasan para filosof klasik yang cara berpikirnya masih logosentris (menjadikan logika-bukan fakta empirik sebagai acuan utama kebenaran, cara pandang yang lalu dikikis secara perlahan mulai era Immanuel Kant)

Hingga pengadilan berakhir, Otto Hasibuan dari tim pembela Jessica selalu mengulang-ulang pernyataan ini "buktinya mana? Buktinya mana?" seolah ia ingin mengabaikan bangunan bukti logis-bukti berdasar otoritas nalar yang telah susah payah berupaya dibangun JPU dalam merumuskan kebenaran dakwaan yang lalu diikuti oleh hakim ketika memutus Jessica bersalah, menunjukkan sekali lagi bahwa ‘kebenaran’ dalam pandangan seorang Otto Hasibuan adalah ‘bukti yang tertangkap mata kepala’ persis sebagaimana pandangan kaum materialist.

Dan seluruh saksi ahli yang didatangkan di pengadilan seolah menjadi pasukan yang berdiri di belakang kedua kutub yang saling berseberangan kepentingan itu karena sebelumnya mereka terpolarisasi kepada dua kutub antara saksi ahli yang ddatangkan JPU dan saksi ahli yang ddatangkan tim pembela Jessica. Dan kerumitan kasus Jessica itu intinya karena adanya perbedaan pandangan serta argumentasi yang diungkap saksi ahli yang didatangkan kedua kutub itu yang terkadang saling berlawanan yang masing-masing seperti mengikuti kepentingan pihak yang meminta mereka untuk hadir memberi kesaksian.

Dan Hakim pada awalnya berada di tengah-tengah pertarungan antara dua kubu yang berseberangan, baik pandangan maupun kepentingan itu untuk mencari mana di antara mereka yang pandangannya dianggap dapat digunakan sebagai landasan dasar dalam membuat vonis terhadap Jessica.

Itulah napak tilas secara singkat kasus peradilan Jessica yang teramat panjang dan yang nampak rumit dan pelik itu.

Vonis terhadap Jessica pada kamis 27 Oktober 2016

Dan sebagaimana kita tahu, pada Kamis, 27 Oktober 2016, hakim yang mengadili kasus pembunuhan Wayan Mirna dengan terdakwa Jessica kumala Wongso telah memutus perkara dengan putusan; mengabulkan tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut Jessica hukuman penjara selama 20 tahun penjara sekaligus mengetuk palu tanda vonis terhadap Jessica telah dijatuhkan.

Dalam penjelasan panjang lebar yang tertuang dalam tulisan sekian ratusan halaman yang dibacakan hakim di persidangan sebagai landasan dasar pandangan hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap Jessica, saya menangkap sebuah pesan penting yang diungkap hakim yang bersesuaian dengan tema yang saya buat tentang peradilan Jessica ini (empirisme vs rasionalisme) sebagaimana diungkap langsung melalui penjelasan tertulis bahwa: hakim memutus kasus ini berdasar pertimbangan nurani dan nalar dan itu dapat berarti: bukan berdasar bukti empirik langsung (bahwa Jessica menaruh sesuatu ke dalam gelas kopi yang diminum Mirna).

Nah, itu adalah indikasi bahwa dalam persidangan Jessica hakim berpihak pada ‘rasionalisme’- pada kebenaran berdasar nalar-pada bukti tak langsung yang telah dirintis serta lalu dibangun oleh pihak JPU dan yang berupaya dipatahkan oleh tim pembela Jessica yang selalu mempermasalahkan bukti empirik langsung yang tertangkap mata itu.

Dalam penjelasan tertulisnya, Hakim menyebutkan apa yang menjadi benang merah utama dari kasus ini yang juga menjadi benang merah dari bangunan bukti logis yang dibangun JPU, yaitu dimulai dari fakta empirik bahwa kopi yang diminum Mirna itu berada dalam penguasaan Jessica sejak kopi itu diantar oleh pelayan cafe ke meja nomor 54, fakta empirik yang tentu saja tidak dapat berdiri sendiri untuk membangun konstruksi bangunan kebenaran logis seputar kasus ini tetapi terangkai dengan beragam potongan fakta empirik lain yang dianggap memiliki ketersalingkaitan seperti: tak ada orang lain yang menyentuh kopi itu, paperbag yang disusun menutupi gelas kopi, warna kopi yang berubah setelah berada dalam penguasaan Jessica yang berbeda dengan warna kopi saat diantar pelayan cafe, gestur negatif Jessica saat Mirna sekarat, hasil otopsi, Hani yang mencicipi kopi yang diminum Mirna dan merasakan aroma yang menyengat, Jessica yang tak mau mencicipi sisa kopi yang diminum Mirna sampai lebih jauh lagi adalah berbagai potongan fakta empirik saat Jessica masih berada di Australia. Dalam pandangan hakim, semua itu adalah potongan-potongan puzzle empirik yang lalu membangun suatu alur cerita yang menyatu padu.  

Dan hakim pun bukan saja mengungkap potongan demi potongan fakta empirik yang tercerai-berai. Untuk memperkuat benang merah yang menjadi inti dari bangunan bukti logisnya itu, hakim pun memperkuatnya dengan menyisipkan suatu potongan bukti logis hasil ‘bermain logika’ misal: andai pelaku pembunuhan adalah pelayan cafe, sisa kopi akan langsung dibuang-tanpa sisa, sebuah permainan logika yang cukup cerdas dan mungkin ‘fakta logis’ ini tidak terpikirkan oleh Otto Hasibuan ketika dengan ‘bermain logika’ ia pun menyisir kemungkinan pelayan cafe sebagai pelakunya. Dan logika yang terkuat tentu adalah yang dilandasi oleh fakta empirik bukan oleh sekedar gagasan kosong atau berandai-andai

Nah, potongan-potongan fakta empirik yang disusun hakim kemudian menjelma menjadi bangunan konstruksi bukti logis alias rangkaian bukti tak langsung (karena fakta empirik-bukti langsung Jessica menaruh racun itu tak dapat ditemukan atau diperlihatkan) menciptakan kebenaran logis kasus Jessica Kumala Wongso dan yang  identik dengan alur cerita yang tampak runtut bak cerita sinetron, runtut dalam arti tidak ada kejanggalan dalam alur cerita itu. 

Apakah tim kuasa hukum Jessica dapat menciptakan alur cerita yang serupa? Itu adalah sebuah ujian tersendiri bagi kuasa hukum Jessica. Bila tak mampu menyusunnya, para kuasa hukum tampak hanya akan menjadi seperti para antagonis pengadilan, sebab dalam kasus yang tampak rumit ini alur cerita yang runtut itu dianggap dapat dengan sendirinya memperlihatkan benang merah peristiwa yang sebenarnya.

Apakah tim pengacara memiliki nalar yang terang-benderang?

Tetapi apakah bangunan argumen bukti logis yang diungkap hakim sebagai bahan dasar dalam membuat vonis itu lalu menyadarkan tim pembela hukum Jessica atau membuat akal pikiran mereka menjadi terang-benderang dalam menangkap kebenaran kasus ini secara nalar?

Sebab tim pembela hukum Jessica sejak awal kasus ini tampak bukan fokus pada alur nalar-bukan fokus pada kebenaran rasional. Mereka di samping selalu mempermasalahkan bukti-fakta empirik langsung, juga selalu mempermasalahkan kedudukan ‘barang bukti’ yang disebut hakim semisal CCTV atau penyerahan barang bukti yang dianggap tak sesuai peraturan Kapolri, atau dianggap tiadanya bukti empirik yang  kuat adanya sianida dalam lambung Mirna. Dengan kata lain, bukan sibuk ‘bermain logika’ seperti filosofi JPU.

Ketika jurnalis Kompas TV mencoba memancing Otto Hasibuan untuk masuk ke alur bangunan bukti logis yang dibangun JPU maupun hakim yang intinya adalah seputar penguasaan Jessica atas kopi yang diminum Mirna, Otto juga mencoba menyainginya juga dengan ‘berlogika’ tetapi dengan alur logika yang tidak berpijak pada fakta empirik yang kuat, misal ia menyebut kemungkinan kopi itu telah mengandung racun sejak dari dapur pembuatannya.  

Dengan kata lain, apakah (melalui alur cerita yang tampak runtut yang disusun hakim itu) tim kuasa hukum dapat disadarkan secara nalar? Ternyata tidak. Hingga ujung persidangan, mereka tampak masih tetap kukuh dengan pandangannya karena tujuan mereka-tim pembela mungkin (mungkin) memang bukan sedang mencari-cari kebenaran dalam kasus ini, tetapi mungkin (mungkin) sekedar ingin mencari kemenangan (bebasnya Jessica). Lalu, apa arti nalar dan lalu ‘kebenaran rasional’ sebagai bentuk kebenaran yang dibangun melalui otoritas serta kekuatan nalar dalam pandangan tim kuasa hukum? Saya tidak tahu.

Hingga vonis dijatuhkan, tim pembela hukum tetap bergeming dengan pandangannya. Terbukti ia dan Jessica tentunya memutuskan untuk menyatakan banding atas putusan hakim itu untuk melanjutkan kasus ini ke pengadilan yang lebih tinggi dengan harapan tentunya hakim yang lebih tinggi akan sepandangan dengannya: berpijak pada ‘empirisme’ (tanda kutip: dalam kasus ini pengertiannya mengacu pada bukti empirik langsung sebagai fakta yang harus dijadikan acuan utama dalam peradilan).

Di akhir persidangan dengan agenda vonis hakim, dengan tegas Otto Hasibuan menyatakan, "saya melihat ada lonceng kematian keadilan di pengadilan ini," yang menunjukkan keteguhannya dalam memegang prinsip yang dalam tulisan saya tentang peradilan Jessica saya sebut ‘empirisme’.

Terlepas dari persoalan bukti empirik langsung atau bukti logis sebagai bukti tak langsung, hakikat siapa sebenarnya pembunuh Mirna (kalau ia dbunuh) atau apa yang sebenarnya terjadi dengan Mirna maka hanya Tuhan yang mahatahu. Apa yang dilakukan hakim bukanlah mengungkap hakikat, tetapi sekedar upaya manusia dalam menyingkap kebenaran dan upaya manusia bagaimana menyikapinya dan upaya menuju ke arah itu dalam dunia manusia ditempuh melalui jalan empirik dan jalan logika alias jalan nalar.

Walaupun setelah vonis terhadap Jessica dijatuhkan, Darmawan Salihin mengatakan bahwa ‘masyarakat telah tahu siapa sebenarnya pembunuh Jessica’, hakikatnya ia sebenarnya sekedar hanya menyampaikan informasi bahwa ‘itulah upaya hakim dalam mengungkap serta menyikapi kasus itu’, bukan mengungkap hakikat siapa sebenarnya pembunuh Jessica yang adalah hanya Tuhan yang mahatahu. 

Itulah hasil upaya hakim yang adalah dengan lebih bertumpu pada konstruksi bukti logis yang identik dengan’ alur cerita yang runtut’ yang dibangun oleh kekuatan nalar dalam merangkai potongan-potongan fakta empirik yang terserak itu. Dengan kata lain, apa yang dilihat masyarakat sebagaimana yang diungkap Pak Darmawan adalah: vonis berdasar keyakinan hakim bukan mengungkap hakikat kebenaran seputar kasus ini yang adalah hanya Tuhan yang mahatahu.

Dan sebagaimana kita tahu Otto Hasibuan CS. telah mengambil sikap atas putusan yang dibuat hakim atas Jessica dengan melakukan banding,mungkin Otto CS. berharap pengadilan yang lebih tinggi akan berfihak padanya.

Tetapi itulah,pengadilan paling tinggi sekalipun tentunya tidak akan bisa merubah rangkaian ceritera yang sudah tercipta sebagai drama kopi bersianida,yang bisa dilakukan hanyalah upaya membuat penilaian ulang kembali demi menerapkan prinsip keadilan yang se adil adil nya.dan bagaimana kelak putusan pengadilan tinggi menurut saya akan kembali ke pertarungan antara prinsip empirisme vs prinsip rasionalisme.bila hakim di pengadilan tinggi melihat bahwa kerangka bukti logic yang disusun hakim dan yang dijadikan landasan dasar dalam memvonis Jessica dianggap sudah cukup kuat (walau dianggap ada kekurangan sedikit sedikit disana sini) misal apakah akan diruntuhkanatau di abaikan hanya karena tetap tak ada ditemukan bukti langsung Jessica yang tengah menaruh sesuatu kedalam gelas kopi yang diminum Mirna ? ... 

Maksudnya : apakah hakim pengadilan tinggi percaya bahwa akal-logika-nalar manusia bisa merumuskan sesuatu-kebenaran tanpa mutlak harus bergantung pada input dunia inderawi atau sebaliknya ; berpandangan bahwa akal tidak memiliki otoritas untuk memutuskan sesuatu sebab mutlak harus bergantung pada input dunia inderawi (?) .. itulah pertarungan abadi 'empirisme vs rasionalisme' yang berlangsung abadi hingga kini di berbagai aspek kehidupan umat manusia termasuk di ranah pengadilan

*

Dan tulisan-tulisan yang saya buat seputar peradilan Jessica pun sebenarnya bukan dalam kepentingan membela atau menyudutkan Jessica. Saya tidak memiliki kepentingan apa pun dengan masalah itu. Saya pun tak ingin terlalu terlarut secara emosional dalam masalah ini sebab saya berpandangan bahwa andai seseorang jahat dapat bebas dari pengadilan dunia toh mustahil ia bisa lolos dari pengadilan akhirat. Walau tentu sebagai manusia yang memiliki perasaan manusiawi saya pun berharap apabila orang yang bersalah dapat memperoleh hukuman, bahkan ketika ia masih hidup di dunia ini sebagai bentuk keadilan dan contoh bagi siapa pun agar tak berbuat serupa terhadap sesamanya.

Jadi, tulisan ini sebenarnya lebih kepada tujuan filosofis-sekedar ingin melihat bagaimana cara manusia mencari dan menggapai kebenaran--dalam hal ini di dunia pengadilan-- dan lalu menyikapinya dengan bingkai hukum. Secara lebih spesifik, tulisan ini lebih mengedepankan melihat bagaimana manusia ‘bermain logika’ di dunia pengadilan. Tentu bukan berlandaskan ide-ide kosong karena di dunia pengadilan, logika yang dibangun harus berpijak pada fakta empirik langsung sekecil atau seminim apa pun fakta empirik itu, tak boleh memainkan logika dengan bersandar pada sekedar berandai-andai atau apalagi mengarang-ngarang.

Tetapi itulah, seperti orang beriman akan diuji oleh orang tak beriman, teis oleh atheis, maka bila bermain logika di dunia pengadilan, bersiaplah sebab akan diuji oleh orang orang yang landasan pandangannya bertumpu pada ‘prinsip empirisme’ yang dalam kasus peradilan Jessica peran itu dimainkan oleh Otto Hasibuan dkk..

.....................................

Perlu sedikit saya tambahkan bahwa manusia itu dikaruniai Tuhan peralatan berfikir yang berlapis yaitu : dunia indera- akal-hati,dan mengapa harus berlapis ? sebab dalam realitas kehidupannya manusia akan atau harus berhadapan dengan beragam problematika kehidupan yang bersifat kompleks,bukan saja yang bersangkutan dengan dunia fisik melainkan juga yang bersangkutan dengan dunia metafisik termasuk persoalan gaib.itu sebab ketiga peralatan berfikir itu saling meng cover-saling mengisi kelemahan yang lain,akal meng cover kelemahan dunia indera manusia yang teramat sangat terbatas itu,dan demikian pula hati meng cover kelemahan akal yang juga memiliki batas kekuatannya tersendiri.

Sebab itulah dalam tiap permasalahan yang tak bisa diselesaikan melulu dengan menggunakan prinsip pembuktian empirik yang adalah serba terbatas-tidak komplit seperti kasus yang menimpa Jessica maka nalar-akal harus dimaksimalkan untuk meng cover nya untuk kelak memberi keyakinan pada hat,karena sungguh naif apabila dalam keserba terbatasan input yang dapat diberikan oleh dunia inderawi akal secara mutlak melulu harus bergantung pada eksistensi dunia inderai.dan itulah yang membedakan antara rasionalist sejati dengan empiris sejati adalah bahwa rasionalis sejati itu menempatkan akal sebagai peralatan berfikir yang memiliki kemandirian untuk memutuskan serta merumuskan diantara input dunia inderawi yang serba terbatas,sebaliknya kaum empiris sejati (yang identik dengan 'materialist') menundukkan akal nya mutlak pada input yang dapat diberikan dunia inderawi semata,misal mereka tak percaya Tuhan karena input dunia inderawi tak dapat memberikannya,walau fakta rasional perihal adanya Tuhan itu dapat selalu ditemukan dalam realitas,tetapi rumusan akhir kaum materialist selalu bergantung pada input dunia inderawi nya 

Sekian,

Bandung 27 Oktober 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun