Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ini yang Harus Dilakukan Ketika Agamawan dan Saintis Terlibat Perdebatan Sengit

21 Maret 2016   15:00 Diperbarui: 21 Maret 2016   19:13 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tetapi bila keduanya bersepakat mengidentifikasi permasalahan sebagai permasalahan abstrak-metafisik yang tak bisa dijangkau sains dan karenanya tak bisa didekati dengan menggunakan parameter empirik maka keduanya harus bersepakat menggunakan parameter keilmuan yang tepat untuk bisa mendekatinya.kalau keduanya bersepakat untuk tidak langsung menggunakan parameter ‘iman’ karena dianggap sebagai cara ‘meloncat ke kesimpulan’ misal dan bersifat subyektif,maka keduanya boleh mencoba mendekatinya dengan menggunakan parameter logika alias rasio.nah di wilayah logika atau rasio inilah keduanya dapat bermain dan dapat saling bertemu dan berpadu sebab walau keduanya memiliki keyakinan berbeda tetapi keduanya pastinya sama sama memiliki akal dan akal akan menelusur permasalahan dengan pendekatan logika-pendekatan yang mencari kepantasan-ke idealan

Misal logika melihat bahwa manusia itu dilahirkan,lalu menghadapi beragam persoalan hidup sehingga ia memperoleh beragam ilmu pengetahuan termasuk pengetahuan tentang arti dan makna kehidupan,sehingga dalam memori ingatannya tersimpan berbagai bentuk ilmu pengetahuan,maka secara logika akan timbul pertanyaan ; apakah suatu yang ideal apabila lalu jiwa manusia dilenyapkan kembali setelah ia mati .. bukankah itu sebuah ‘pekerjaan’ yang sia sia-tak bermakna ? ..  kalau mencoba menggunakan pendekatan sains misal,maka dalam sains kita mengenal hukum kekekalan energy yang merumuskan energy sebagai wujud yang tidak dapat dimusnahkan maka apakah jiwa manusia sebagai wujud abstrak-non materi dan lebih menyerupai ‘energi’ juga akan hidup kekal ?

Nah setelah mengekploitasi akal fikiran se maksimal mungkin maka menyangkut keyakinan,masing masing boleh berjalan kearah mana yang lebih mereka yakini. dan ketika akan masuk ke wilayah keyakinan maka sang agamawan tentu sah sah saja menggunakan agamanya sebagai jalan karena untuk masuk ke wilayah keyakinan tentu tidak mensyaratkan wajib hanya membawa argument keilmuan tertentu,karena keyakinan itu dibentuk oleh berbagai element,berbagai masukan,berbagai jenis ilmu pengetahuan ……

Jadi kunci jawaban untuk permasalahan yang terkadang nampak rumit ini (dan JAWABAN untuk artikel ini) adalah : akal-logika-cara berfikir systematis-mencari mana yang lebih pantas-ideal.suatu jalan keluar yang dapat didekati oleh baik teis maupun oleh ateis atau oleh yang beragama apapun karena semua manusia tentunya memiliki akal dan dapat menggunakannya bila ia mau,masalahnya maukah tiap orang menggunakan logika akal fikirannya nya untuk mencoba menelusuri dan memahami persoalan persoalan metafisik secara rasional ? sebab misal,satu fihak bersikukuh tetap ingin memakai pendekatan empiris (sebuah cara yang mustahil) atau apakah ada ketakutan dari fihak tertentu kalau memakai jalur akal-logika maka itu akan lebih menguntungkan kaum agamawan misal (dan karenanya bersikukuh menginginkan untuk diselesaikan melalui jalur metodologi empirik?) wallohu a’lam

Atau,maukah misal Richard dawkins atau Steven hawking dibawa kearah penyelesaian dengan memakai alur logika kalau alur kitab suci jelas jelas akan mereka tolak (sebagai ‘jalan tengah yang adil) ? .. ataukah penjelasan berdasar rasio-rasionalitas itu tidak memiliki nilai apapun dihadapan saintis tertentu ?

Atau masalahnya : bila menggiring masalah seperti ini atau masalah masalah metafisis lain ke wilayah akal-logika-ke wilayah mencari idealitas maka, apakah ateis masih akan tetap beranggapan bahwa itu adalah cara teis membuat argument ‘pembenaran’ ? ..

Lha lalu jalan apa dan jalan mana lagi yang harus ditempuh,sebab jalan akal adalah ‘jalan tengah’ terbaik yang dapat ditempuh yang dapat menyatukan pandangan semua fihak baik yang teis-ateis-agnstik bahkan yang beragama apapun sebab semuanya pastinya memiliki akal hanya tinggal apakah mau menggunakannya atau tidak (sebagaimana akal kita seluruh umat manusia dapat bersepakat terhadap rumus rumus matematika atau rumusan hukum hukum logika )

Dan mengapa kitab suci agama Ilahiah begitu sering mengingatkan manusia untuk menggunakan akalnya melebihi perintah untuk mencari bukti empirik ? itu menunjukkan betapa dalam agama Ilahi peran akal dalam mencari ilmu-kebenaran itu teramat sangat vital.tetapi tentu kita harus bisa membedakan antara pemikiran spekulatif dengan cara berfikir akal yang systematis,sebagaimana kalau dalam sains kita harus bisa membedakan dengan jelas antara kebenaran empiric dengan yang baru sekedar teori-hipotesa-dugaan.sebab tidak sedikit bentuk pemikiran spekulatif yang diklaim sebagai bentuk ‘pemikiran rasional’ suatu hal yang sering terjadi dalam dunia filsafat sebagaimana dalam ranah sains seringkali terjadi suatu yang baru sekedar teori-hipotesa-dugaan tetapi oleh satu fihak tertentu diklaim sebagai ‘kebenaran empirik’ dan seolah memaksa publik untuk menerimanya sebagai ‘kebenaran yang tak boleh dipertanyakan kembali’ semisal kasus yang menimpa teori Darwins

………………………….

Memang perlu kearifan tersendiri untuk menempuh ‘jalan tengah’,kalau ateis (jelas) tidak akan mau memakai jalur agama tetapi juga menolak memakai jalur akal-logika-mencari idealitas dan kukuh memakai parameter empirisme sebagai parameter kebenaran sedang di sisi lain sang agamawan tentu tidak akan mau memakai parameter empirisme sebagai parameter kebenaran karena hal hal yang abstrak-metafisik-gaib itu bukan untuk di empiriskan-bukan untuk dibuktikan secara empiris tetapi untuk difahami oleh logika akal dan oleh hati-nurani (misal didalami makna-hikmatnya),dan agamawanpun pasti tahu bahwa sampai kepala botak licin sekalipun hal yang metafisis-gaib itu tak akan pernah dapat secara utuh di hadirkan secara empirik karena substansinya sendiri ya bersifat non fisik-non empirik,semisal ‘akal’-‘fikiran’-‘bahagia’ dlsb. itu tak akan pernah dapat dihadirkan secara empiris tetapi ia ADA dan gejalanya dapat manusia tangkap

Jadi,bukankah jalan akal adalah jalan tengah yang terbaik untuk semua golongan yang saya sebut diatas ? .. tetapi siapa yang mau menerima tantangan akal ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun