[caption caption="Ada satu temuan baru mengenai kejadian alam semesta. abdurakhman.com"][/caption]
…
Ketika terjadi perdebatan sengit antara seorang agamawan dengan saintis (yang ateistik-agnostik) perihal masalah yang berkaitan dengan dunia abstrak-metafisik-gaib misal perihal ‘apa yang akan terjadi sesudah manusia mati apakah jiwanya akan ikut menghilang atau akan tetap hidup ?’ maka secara keilmuan apa sebenarnya yang seharusnya mereka kejar dan metode keilmuan yang bagaimana yang harus mereka jadikan sebagai parameter untuk menganalisisnya ? … sebuah pertanyaan penting mengingat masih banyak orang bahkan yang sudah level saintis yang masih terobsesi mencari bukti empirik otentik atas perkara atau wujud yang bersifat abstrak-gaib-metafisik,sebuah upaya yang sia sia tentunya.sebab sesuatu di definisikan sebagai abstrak-metafisik-gaib itu karena sesuatu itu tak bisa dihadirkan sebagai wujud empirik.contoh sederhana,ruh-akal-hati-fikiran-ingatan,semua itu sampai kapanpun tak akan pernah bisa dihadirkan sebagai wujud empirik sebab hakikatnya ia adalah wujud abstrak-non fisik tetapi kita dapat meraba bahkan dapat memastikan keberadaan keduanya.sebab itu upaya merubah sesuatu yang substansinya abstrak-gaib agar menjadi empirik bukanlah upaya ilmiah melainkan hanya sebuah spekulasi  Â
Kembali ke persoalan agamawan-saintis.pertama, yang harus mereka lakukan ketika terlibat dalam perdebatan adalah mengidentifikasi masalah terlebih dahulu,ini penting agar identitas masalah jelas dan keduanya tidak terjebak atau tidak mengarah ke arah penyelesaian yang salah misal dengan membuat argumentasi yang tidak sesuai dengan substansi masalah. kalau permasalahan yang mereka hadapi adalah permasalahan yang berkaitan dengan masalah metafisik-dunia gaib maka baik agamawan maupun saintis tidak boleh memaksa menyeret permasalahan seperti itu untuk diteropong serta diselesaikan dengan menggunakan metode empiris misal,karena metode empirik itu hanya dapat dipergunakan ketika manusia menelusur permasalahan yang berkaitan dengan dunia fisik-material, bukan peralatan yang bisa digunakan untuk menelusur persoalan metafisis.(cam kan itu tuan Dawkins and tuan Hawking)
Sehingga sebab itu agamawan tidak boleh merasa terjebak oleh tuntutan saintis yang meminta agar masalah seperti itu diselesaikan dengan menggunakan parameter metode empirik dan demikian pula saintis tak boleh menyelesaikan permasalahan metafisis secara simpel dengan cara berfikir spekulatif tetapi dengan masih mengatasnamakan sains misal,atau menuntut agar permasalahan diselesaikan dengan menggunakan standar parameter empirik.keduanya harus bersepakat dalam mengidentifikasi masalah dan bersepakat pula dalam menyelesaikannya dengan menggunakan parameter keilmuan yang tepat
…………………………………..
Karena kalau ada agamawan yang terjebak mengikuti keinginan sang saintis misal berupaya  memaksakan diri dengan mencoba menghadirkan ‘bukti bukti empirik’ atas hal yang bersifat metafisisk, maka ia malah bisa terjebak pada subyektifisme yang tentu tak dapat diterima oleh sains yang senantiasa mensyaratkan prinsip obyektifisme.dan di sisi lain sang saintis memaksakan diri dengan membuat rumusan rumusan metafisis yang malah nampak spekulatif karena keinginannya merumuskan persoalan metafisis dengan menggunakan parameter empirik yang membuatnya malah keluar dari koridor sains.dua cara yang saling bertolak belakang yang akan membuat keduanya tak akan pernah bertemu di satu titik
Yang harus dilakukan oleh sang agamawan ketika sang saintis membuat pernyataan atau deskripsi atau pernyataan metafisis yang sudah keluar dari koridor sains tetapi masih dengan mengatasnamakan sains adalah mengingatkannya bahwa masalah yang dihadapi adalah problem metafisik yang tidak bisa diselesaikan dengan menggunakan metode empirik,demikian pula yang harus dilakukan sang saintis ketika sang agamawan mencoba memaksakan diri menghadirkan ‘bukti empirik’ tetapi bersifat subyektif adalah mengingatkan sang agamawan untuk tidak memaksakan diri menghadirkan bukti empirik subyektif sebab kaidah sains tentu tak bisa menerima bentuk kebenaran yang bersifat subyektif melainkan harus yang obyektif
Misal :
Ketika agamawan dan saintis berdebat soal ‘apa yang akan terjadi setelah manusia mati, apakah jiwa manusia akan hilang ataukah akan tetap hidup ?’ misal sang agamawan memberi argument bahwa ia pernah menerima pesan dari si orang mati melalui mimpi dan ia ingin itu diterima sebagai ‘bukti empirik’ atau ia pernah melihat ‘penampakan dari si orang mati untuk menunjukkan bukti bahwa jiwa si mati masih tetap ada’ maka itu merupakan argument yang bersandar pada pengalaman yang bersifat pribadi-bersifat subyektif-bukan argument berdasar agama, sedang agama sendiri tidak meminta manusia untuk berusaha mencoba mencari cari bukti empirik atas hal yang bersifat metafisik melainkan agar direnungi-didalami makna nya dengan menggunakan hati dan akal fikiran
Dan lalu di sisi lain sang saintis ‘memaksakan diri’ menceburkan diri kedunia abstrak yang tak bisa dijangkau oleh sains dengan membuat pernyataan bahwa ‘jiwa si mati akan hilang bersamaan dengan matinya tubuh’,maka disandingkan dengan argument sang agamawan yang subyektif itu tadi maka keduanya telah membuat argumentasi yang salah-yang saling bersimpangan jalan.dan pernyataan sang saintis itupun lebih merupakan pandangan subyektif dan spekulatif bukan pandangan logis apalagi obyektif sebab ia sendiri tentu belum pernah mengalaminya secara empirik,(bagaimana dapat memastikan bahwa jiwa manusia akan lenyap ?).sebab kondisi apa yang akan terjadi sesudah manusia mati tentu memerlukan pengalaman mati dulu untuk membuktikannya tak bisa dengan jalan diterawang dengan hipotesa misal…