Kajang merupakan salah satu kecamatan dari kabupaten Bulu Kumba Sulawesi Selatan yang di huni oleh mayoritas penduduk suku Kajang. Disini, masyarakat berkomunikasi menggunakan bahasa asli daerah yaitu bahasa Konjo, dialeknya mirip bahasa Bugis namun intonasinya menyerupai bahasa Makassar.
Di perantauan dan di luar kabupaten Bulukumba, nama suku Kajang cukup disegani karena ilmu-ilmu mistiknya atau ilmu hitam yang biasa membuat orang celaka.
Suku asli kajang terletak di desa Tanatoa yang terdiri kurang lebih Sembilan dusun, letaknya cukup jauh dari pusat kota karena lokasinya berada di tengah hutan. Nama Tanatoa berasal dari bahasa konjo, Tana berarti Tanah dan Toa betarti Tua, jadi dapat diartikan sebagai Tanah Tua. Menurut kepercayaan mereka yang diwariskan para leluhurnya bahwa Tanatoa yang sekarang mereka tempati adalah tanah tertua di muka bumi ini yang pertama kali diciptakan oleh Tuhan mereka.
Pada suatu kesempatan bersama satu teman yang berasal dari daerah sekitar Tanatoa, saya memberanikan diri menelusuri kampung yang katanya Keramat ini yaitu Tanatoa. Dalam penelusuran ini, kami masuk melalui pintu gerbang satu-satunya karena Desa ini dikelilingi oleh pagar bambu yang kelihatannya biasa-biasa saja tapi kami tidak boleh seenaknya masuk menerobos pagar itu karena hal tersebut merupakan pelanggaran yang dapat dikenai hukum adat. Untuk memasuki desa ini, kami tidak boleh menggunakan kendaraan mengenakan atribut berwarna merah, peraturan ini sedah dilonggarkan oleh kepala adatnya karena sebelumnya tidak boleh ada pengunjung yang masuk tanpa izin kepala adat, tidak boleh menggunakan alas kaki dan harus memakai pakaian serba hitam. Menurut cerita, pernah ada orang asing yang masuk kesini memgendarai sepeda berputar-putar, namun orang itu tidak bisa menemukan jalan keluar dan melihat sekelilingnya seperti jalan tol seperti kota metropolitan.
Katanya, Nenek moyang mereka menerapkan aturan seperti ini untuk melindungi kuburan leluhurnya dari bangsa Asing yang pernah menjajah di negri ini seperti Belanda. Kuburan tersebut dipercaya sebagai poros berlangsungnya kehidupan sejahtera di Desan ini, jadi jika kuburan tersebut ditemukan oleh orang Belanda maka kelangsungan hidup mereka akan sengsara. Kuburan tersebut sangat dirahasiakan keberadaannya, bahkan tidak sumua masyarakat disini mengetahui letak persisnya.
Di tengah perjalanan, kami mendapati beberapa orang warga yang menggotong batang pohon sepanjang kurang lebih Tiga meter dengan diameter Delapan Puluh cm. Katanya mereka terpaksa menggotong karena tidak dalam aturannya tidak di perbolehkan membawa kayu hasil tebangannya menggunakan mesin penderek untuk mengangkut keluar. Batang Pohon di Desa ini tidak diperjual belikan dengan syarat, meminta izin kepada kepada adat, harus menanam beberapa pohon sebagai gantinya, tidak boleh menebang menggunakan mesin,melainkan dengan menggunakan parang atau kapak dan harus menggotong keluar hasil tebangannya karena warga disini sangat menghindari hal-hal yang bersifat pabrikan dan mesin.
Apabila ada orang, baik penduduk lokal maupun luar yang melanggar maka akan dikenakan hukum adat yang berlaku atau denda. Kalau pelakunya tidak di ketahui maka akan di lakukan 'attunu panroli' sebuah tradisi yang dilakukan untuk mengetahui pelaku pelanggaran tersebut. Dalam arti bahasa Indonesia, Attunu berarti Membakar fan Panroli berarti Linggis jadi arti kalimat tersebut yakni Membakar Linggis. Prosesnya dilakukan dengan mengumpulkan warga di lapangan besar kemudian membakar linggis tersebut lalu secara bergantian warga mengantri memegang linggis panas tersebut. Barang siapa yang merakan panas saat memegang linggis itu maka dialah pelakunya. Katanya, orang yang tidak bersalah tidak akan merasakan panas ketika memegang linggis panas tersebut. Apabila dengan metode seperti itu tidak membuahkan hasil maka diadakanlah ritual untuk mengutuk dan mendoakan pelaku pelanggaran tersebut supaya hidupnya akan celaka. Pernah ada beberapa kejadian unik di tempat ini saat pembajak liar datang menebang pohon disini tanpa izin, tak lama setelah menebang pohon, mereka pun mendapat musibah, tak diketahui penyebabnya, orang-orang ini mengalami luka-luka cukup serius di sekujur tubuh dan melihat tanah terbelah menjadi dua.
Dengan alasan tersebut,
mereka hidup sangat sederhana, mulai dari menumbuk padi, menenun kain, menyusun batu sebagai pondasi, merangkai bambu sebagai pagar dan lainnya.
Setelah masuk lebih dalam, kami menjumpai beberapa rumah yang bentuknya cukup unik, motifnya hampin sama, tidak punya teras dan yang lebih mencengangkan adalah dapur serta WCnya yang berada di depan tidak seperti rumah biasanya yang dapur dan WCnya berada paling belakang.
Untuk masuk ke dalam pekarangan rumahnya, kami harus membuka alas kaki terlebih dahulu karena takut mendapat teguran dari pemilik rumah.
Disini kami tidak pernah melihat satu orang pun pribumi menggunakan alas kaki, aksesoris dan kaos yang dijual di Pasaran, mereka menggunakan semua atribut hitam, mulai, topi, baju, celana dan kalung khasnya.
Pekerjaan sehari-hari masyarakat Desa Tanatoa adalah bertani, peternak dan ada juga pedagang. Diluar lokasi ini, terdapat sebuah pasar mini, tempat masyarakat Tanatoa berjual-beli. Pasar tersebut hanya dikhususkan untuk warga Desa Tanatoa, ukurunnya tidak lebih dari 70 meter persegi, barang-barang yang dijual pun cukup sederhana, kain hitam, hasil pertanian, ikan, bahan pangan, kerajinan tangan dan lainnya.
Orang-orang yang bermukim di daerah ini lebih suka berjalan kaki atau menunggangi kuda dibandingkan menaiki kendaraan karena hewan berjambul tersebut sangat banyak dijumpai disini, selain untuk tunggangan, mereka memggunakan Kuda ini untuk di potong dalam acar-acara tertentu atau saat upacara adat.
Mereka sangat tertutup dengan orang-orang yang tidak dikenalnya, itu terbukti saat kami menyapanya, tidak ada yang merespon kecuali jika teman saya menyapanya dengan bahasa Konjo.
Menurut beberapa netizen yang memuat hasil penelitiannya di Tanatoa ke Blog masing-masing, mengungkapkan bahwa mayoritas penduduk Tanatoa sudah menganut agama Islam, namun mereka masih mempertahankan kepercayaannya terhadap leluhur mereka. Orang-orang primitif yang bermukim disini masih banyak jumlahnya, namun seiring berjalannya waktu, Tanatoa serta penduduknya akan mengalami revolusi disetiap tahunnya dan lambat laun kepercayaan mereka dengan leluhurnya akan pudar seiring berkembangnya pendidikan.
Mari lestarikan budaya dan adat masing-masing, Salam Ugi To Bone..
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI