Mohon tunggu...
Maiton  Gurik
Maiton Gurik Mohon Tunggu... Relawan - Pengiat Literasi Papua

| Bebaskan Gagasan |

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kebebasan yang Beradab "Membangun Budaya Politik Baru"

12 Juli 2017   11:55 Diperbarui: 12 Juli 2017   12:14 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PILKADA serentak adalah perwujudan partisipasi warga yang merupakan kelanjutan dari ide mengenai kebebasan politik. Walaupun yang terkahir ini (kebebasan) bukan perkara baru dalam kehidupan sistem demokrasi yang telah kita dianut sejak awal proklamasi kemerdekaan, ekspresi yang konkret dari kebebasan itu sendiri sebenarnya baru terasa masa pasca reformasi 1998. Sebelum masa itu orang biasanya menyebut kebebasan politik semu atau kebebasan terbatas, atau dalam ungkapan eufimisme; kebebasan yang bertanggung jawab, meskipun pada dasarnya dalam setiap kebebasan melekat tanggungjawab. Sebab, kebebasan tanpa disertai tanggungjawab  bukanlah kebebasan, melainkan kesewenang-kewenangan.

Dalam pilkada serentak, kebebasan politik warga negara dijamin sepenuhnya. Dalam arti mereka berhak atas akses untuk mendapatkan kesempatan memilih atau dipilih (masalah adminitrasi), berhak protes manakalah hak suaranya tidak diakomodasi, dan berhak mengawasi proses pelaksanaannya sampai selesai. Pilkada ini menjadi eksperimentasi dari budaya  politik  baru  dalam bentuk kebebasan yang beradab, sehingga proses pelaksanaannya sampai penentuan hasil akan berlangsung secara beradab pula.

Dalam konteks pilkada serentak kali ini akan menjadi batu ujian apakah kita mampu mempraktikkan kebebasan yang beradab menjadi budaya politik baru. Jika mampu maka, ini akan menjadi sebuah laboratorium besar bagi demokrasi kita. Budaya politik baru dengan pondasi kebebasan yang beradab perlu terus-menerus didorong untuk mempercepat konsolidasi demokrasi.  Selama ini agenda tersebut berjalan tersendat karena prosesnya hanya bergema di permukaan dan di menstimulasi pembentukan budaya politik baru. Indikatornya yang paling jelas pada proses-proses politik yang bersifat transaksional  dan sarat kepentingan pragmatis. Politik kehilangan idealisme  karena dikendalikan oleh para petualang yang hanya mencari jabatan, kekuasaan, uang dan sejenisnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, orang tidak segan-segan menghalalkan segala cara, memainkan trik adu domba, menyalip di tikungan dan sebagianya.

Bagian ini kita harus waspada, karena apatisme politik bisa terwujud dalam partisipasi semu,  yaitu ketika rakyat tetap memberikan hak suara semata-mata karena mereka merasa sebagai warga negara baik. Namun, partisipasi itu tidak disertai harapan akan terwujudnya perubahan, sebab rakyat telah memiliki pandangan bahwa janji-janji para politisi hanya "di bibir  belaka".  Yang lebih para lagi ialah ketika rakyat memberikan suaranya demi sosgokan atau money politic yang disebar oleh para politisi yang berambisi untuk meraih kekuasaan politiknya. Fenomenan semacam itu akan berdampak buruk dalam jangka panjang karena yang akan lahir adalah para pemimpin palsu, para pertualangan kekuasaan yang tidak memiliki visi apapun kecuali ingin berkuasa. Kepemimpinan yang jatuh pada orang yang bersalah merupakan ancaman terbesar bagi proses demokrasi. Jika ini terjadi maka dalam jangka panjang, masyarakat semakin terasingkan dari kehidupan politik yang sebenarnya bahkan mereka hanya menjadi alat politik belaka.

Sesungguhnya, dalam pilkada serentak yang digelar mulai bulan Desember 2015 lalu hingga kini dan akan datang, agar kita mendorong rakyat benar-benar menjadi penentu, bukan elit atau partai politik. Pemilihan langsung akan tanpak urgensinya manakala rakyat diperlakukan sebagai subyek dan bukan obyek politik. Dengan demkian rakyat akan menjadi kekuatan transformatif yang mempercepat proses transisi menuju konsolidasi demokrasi yang sesungguhnya. Logika ini masih bisa dilanjutkan; jika rakyat menjadi kekuatan penentu yang sesungguhnya dalam proses-proses politik, maka mereka akan terdorong untuk berpartisipasi aktif  dan nyata dalam berbagai perumusan kebijakan publik yang akan berdampak pada kehidupan mereka secara langsung. Begitu juga sebaliknya, jika mereka hanya menjadi obyek politik, maka yang akan muncul adalah sikap fatalistik dan tidak peduli. Tidak ada yang lebih berbahaya dalam kehidupan berdemokrasi dari rakyat yang bersikap masa bodoh.

Momentum pilkada serentak adalah milik rakyat. Pilkada serentak ini memberi ruang sebesar-besarnya kepada rakyat untuk menjadi aktor politik. Aktor disini berarti subyek yang memiliki kebebasan untuk menilai sistem sebagai totalitas, bersikap kristis terhadap aspek-aspek kekuasaan, dan memiliki kesadaran penuh untuk berpartisipasi. Sudah barang tentu partisipasi yang dimaksud bukan hanya soal memberikan suara, tapi tentang bagaimana menyikapi hasil-hasilnya. Karena itu sejak awal rakyat harus terlibat secara aktif; memiliki pengetahuan tentang mekanisme pilkada, mengawal pelaksanaannya, menilai rekam jejak para kandidat, menjatuhkan pilihan secara independen, dan menerima hasil --hasilnya secara sportif. Itulah perwujudan kebebasan politik yang beradab.

Kita semua sudah lelah dengan kekisruhan dan konflik politik yang tidak berkesudahan yang mewarnai berbagai pelaksanaan pilkada selama ini. Dengan kesadaran bersama untuk membangun budaya politik baru, kita berharap pilkada serentak ini dapat mewujudkan harapan untuk terciptanya demokrasi yang lebih solid -- demokrasi lahir dari kekuatan rakyat, yang mampu melahirkan para pemimpin berintegritas. Semoga!

Kampus Universitas Nasional (UNAS) Jakarta, 10 Juli 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun