Mohon tunggu...
Maiton  Gurik
Maiton Gurik Mohon Tunggu... Relawan - Pengiat Literasi Papua

| Bebaskan Gagasan |

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ber-gereja di Atas Ketidakadilan dan Ketidakbenaran

6 Januari 2019   00:42 Diperbarui: 6 Januari 2019   13:53 1767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

KEHADIRAN gereja di masyarakat adalah kenyataan sosial -- karena melihat sejarah gereja tidak bisa lari dari kenyataan sosial-politik itu sendiri. Gereja itu berkarya di tengah-tengah masyarakat dari berbagai kelompok sosial keagamaan dan etnis serta status sosial yang berbeda. Kenyataan kehidupan masyarakat tersebut, kemudian mendorong komitmen dan keikutsertaan gereja untuk menggumuli persoalan-persoalan sosial yang terjadi dan dialami oleh masyarakat (warga gereja). Ketidakadilan dan ketidakbenaran yang dialami oleh masyarakat (warga gereja) seperti kesenjangan, pemerkosaan, pembantaian, penyiksaan, penindasan, penjajahan, dan bentuk kekejaman sejenis merupakan kenyataan sosial yang harus dan segera gereja hadir dan bersuara. 

Karena itu, gereja tidak hanya memiliki institusi kelembagaan keagamaan semata tetapi gereja mampu hadir untuk memperjuangkan misi bagi umatnya yang mengalami penjajahan dan penindasan oleh pemerintah (negara). Pun, ketika kita membaca dalam sejarah gereja bagaimana kelompok yang lemah menjadikannya sebagai mangsa oleh kelompok yang kuat dalam pertarungan kepentingan. Lalu, bagaimana dengan gereja hari ini? 

Apakah gereja hari ini berada di salah satu pihak dari dua kemungkinan yakni; (1) Menjadi bagian dari pihak-pihak yang menciptakan masalah-masalah tadi? Ataukah gereja menjadi alat kendaraan dari pemerintah atau swasta yang menyebabkan kelumpuhan dan ketidakberdayaan masyarakat (warga gereja)? (2) Ataukah gereja menjadi wadah untuk merubah keadaan dan mengubah masalah menjadi kesempatan dan peluang? Untuk menjawab pertanyaan diatas, maka para pimpinan/pendeta gereja bisa mempelajari dari tokoh-tokoh gereja seperti Oscar Arnolfo Romero dari Sansalvador (Amerika Tengah), Martin Luther King dari (Amerika Serikat), Dom Helder Camara dari (Brazil), John Wesley dari Epworth (Inggris) dan masih banyak tokoh lain yang bisa mengambil langkah kongkrit dalam pergumulan kemanusiaan. Sebabnya, peran gereja menjadi strategis mengawal panji-panji kemerdekaan, kebebasan, keadilan, dan perdamaian bagi umatnya. Sehingga, semua permasalahan itu harus dinilai secara kritis dan di letakan pada kritik Firman Allah diatas Injil Kristus.

Dari pandangan diatas, bahwa para pimpinan gereja sering disikapi secara negatif oleh pemerintah yang berkuasa dan masyarakat (warga gereja). Gereja yang kritis sering dicap sebagai pembawah bendera politik "praktis". Namun pada kenyataan secara awam politik itu adalah usaha seseorang lebih dikenal di masyarakat luas pada lembaga-lembaga sosial-politik dalam pemerintahan seperti lembaga legislatif, eksekutif, partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan atau etnis dan agama tertentu dalam masyarakat demi memanfaatkan sarana dan prasarana (materialisme). Gereja sebagai benteng terakhir dan "agen" kerajaan Allah di dunia ini, tidak bisa menghindar dan lari dari masalah sosial, ekonomi, politik, agama, budaya, dan pelanggaran HAM. Gereja harus tampil sebagai terang dan garam "kamu adalah garam dunia, kamu adalah terang dunia (baca: Matius 5:13-14).

Dalam konteks itu, dengan penuh tegas Pdt.Dr.Daud Palilu., menyatakan "...banyak pergumulan ditengah-tengah jemaat yang penanganannya bukan sekedar proses dan prosedur dalam organisasi, tetapi membutuhkan "sentuhan kemanusiaan" yang sesungguhnya jauh lebih efektif untuk menuntaskan masalah yang dihadapi..." (baca: Daud Palilu: Perpihak Kepada Yang Tersisih dan Terpinggirkan., hal:82). Lanjut Daud., "...Organisasi gereja harus berubah seiring dengan perubahan yang akan terjadi. Kalau tidak maka gereja tinggal nama saja, karena ketidakmampuannya menghadirkan damai..." (hal:86). Senada dengan itu., Johann Baptist Metz., menyatakan; "...pewartaan gereja tentang kenangan subversif Yesus hendaknya mengerakan gereja untuk membebaskan rakyat tertindas dan membuka masa depan dunia yang lebih berperikemanusiaan. Gereja memiliki kewajiban untuk mengugat rezim-rezim otoriter yang merupakan metamorfosis masa kini dari ilah-ilah kematian. Gereja hendaknya menolak persetubuhan terlarang dengan rezim-rezim otoriter yang jelas-jelas menindas kebebasan manusia..."(baca:Mutiara Andalas,S.J.,: Kesucian Politik.,hal:218).

Dari pandangan-pandangan kritis tersebut, bagaimana dengan peran gereja di tanah Papua berpihak dan menyuarakan bagi umat yang ditangkap, ditindas, dibunuh, disiksa, diadili dan dipenjarakan atas nama keamanan dan pembangunan nasional itu. Sementara disatu sisi, dalam pelayanan misi kemanusiaan, demokrasi, keadilan, kebebasan, perdamaian dan hak asasi manusia merupakan nilai-nilai Injil Kristus. Ataukah seorang pimpinan/pendeta gereja yang berlatar belakang pendidikan sebagai Teologia hanyalah menari-nari diatas penderitaan dan air mata umat gereja di Papua! 

Pendeta model apa itu? Pendeta semacam itu adalah hamba yang memperjuangkan hidupnya untuk mendapatkan kenyamanan yang terhormat di mata pemerintah yang berkuasa sedangkan dalam alkitab sagat jelas mengatakan bahwa pemerintah sebagai wakil Allah (baca: Roma 13:1-2) "tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya sebab tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah dan pemerintah-pemerintah yang ada di tetapkan oleh Allah. (ayat 2) Sebab itu barang siapa yang melawan pemerintah ia melawan Allah dan siapa yang melakukan nya akan mendatangkan hukuman atas dirinya". 

Dari kutipan tersebut terdorong orang supaya mengakui pemerintah sebagai lembaga yang di angkat oleh Allah untuk menciptakan dan menghadirkan kehidupan masyarakat yang aman dan damai. Disisi lain, pada dewasa ini seorang hamba Tuhan mengutip ayat ini untuk membenarkan. Tetapi juga sering dipakai oleh pemerintah (negara) yang berkuasa untuk menekan gereja supaya untuk mematikan peran potensinya di masyarakat (warga gereja). Akibatnya gereja yang kritis terhadap dosa-dosa sosial yang dilakukan oleh pemerintah (negara) selalu pupus dan disisikan atas nama pembangunan nasional.

Sementara, Amanat Yesus Kristus sangat jelas menyatakan; "...pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku., dan "...ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu. (baca: Matius 28:19-20). Mandat yang selanjudnya: "...gembalakanlah domba-domba-Ku, gembalakanlah domba-domba-Ku (baca: Yohanes 21:15-16). Dari mandat amanat Yesus Kristus ini cukup jelas dan menantang bagi para pimpinan/pendeta dan gembala-gembala untuk terus membenahi diri dan memiliki karakter seperti Kristus dan perperan secara kritis dan bijak. Karena mandat Tuhan Yesus tersebut, tidak mengajarkan pemerintah (negara) untuk menangkap, membunuh, memenjarakan, menculik, menindas, mengadili dan menyiksa warga gereja di tanah Papua.

Oleh karena itu, penulis dengan tegas menyampaikan kepada pimpinan/pendeta gereja di tanah Papua agar segera membuka mata dan hati terhadap fenomena sosial yang buruk terjadi dihadapan umat gereja di tanah Papua sehingga pelayanan digereja itu tidak hanya men-ja-di-kan sebagai aktivitas rutinitas (serimoniah) belaka tanpa harus melihat secara kritis bahwa sesungguhnya Yesus Kristus rela mati di Kayu Salib karena umat manusia dari belenggu dosa dan kekejaman dunia.

 Amanat agung Yesus Kristus untuk pekabaran Injil di seluruh dunia karena kepentingan umat manusia, Mahatma Gandhi di (India) berbicara untuk kepentingan umat manusia, Marthin Luther King Jr di (Amerika Serikat) berbicara untuk kepentingan umat manusia, Nelson Mandela di (Afrika Selatan) berbicara untuk kepentingan umat manusia, Uskup Desmond Tutu di (Afrika Selatan) berbicara untuk kepentingan umat manusia, Uskup Belo diTimor-Timur (Timor Leste) berbicara untuk kepentingan umat manusia, Ndumma Socratez Sofyan Yoman dan Dr.Beny Giay di (Papua Barat) sedang dan selalu konsisten berbicara untuk kepentingan umat manusia. Lalu, dimana dengan pimpinan/pendeta gereja yang lain di tanah Papua? Bersuara dan berpihak untuk siapa? Apakah penguasa atau dikuasa diatas tanah Papua? Sementara umatnya tertindas dan teraniaya oleh kekuasaan pemerintah (negara) dengan moncong senjata. Semoga!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun