Mohon tunggu...
Ufqil mubin
Ufqil mubin Mohon Tunggu... Jurnalis - Rumah Aspirasi

Setiap orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Agar Pemilu Indonesia Lebih Baik

29 Mei 2019   08:14 Diperbarui: 29 Mei 2019   08:35 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pasca reformasi, hasil pemilihan umum (pemilu) di Indonesia, dalam hal-hal tertentu, tidak jauh berbeda dengan kontestasi demokrasi di era Orde Baru. Orang-orang yang menempati jabatan eksekutif dan legislatif, sebagian besar disokong para pemodal atau oligarki. Keterpilihan karena money politic serta ketokohan yang dipoles oleh citra media massa dan konsultan politik, setidaknya menggambarkan bahwa pemilu di negara ini belum sepenuh beranjak menuju tahapan yang ideal.

Dalam pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, baik pasangan calon Joko Widodo-Ma'ruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, didukung sekelompok oligarki yang menguasai sebagian besar sumber perekonomian Indonesia. Meski mereka kerap menggaungkan kemandirian dan otoritas dalam pengambilan keputusan ketika terpilih sebagai presiden dan wakil presiden, tetap saja kelompok pemodal berperan penting mempengaruhi setiap kebijakan kepala negara.

Demikian pula dengan pemilihan legislatif (legislatif). Para wakil rakyat yang terpilih memiliki jejaring serta hubungan yang kuat dengan pemodal dan kelompok oligarki yang berkepentingan mengeruk sumber daya ekonomi di tingkat nasional dan lokal.

Kita melihat masih sangat minim orang-orang yang duduk sebagai anggota legislatif yang memiliki kompetensi dan rekam jejak yang baik. Tak sedikit kita temukan wakil rakyat yang hanya bisa duduk manis saat kepentingan dan hajat hidup publik mesti disuarakan di forum-forum terhormat. Lebih miris lagi, sebagian dari mereka tidak memiliki kemampuan berbicara. Padahal, itulah modal terpenting yang harus dimiliki anggota dewan. Di sisi lain, wakil rakyat yang terpilih tidak memiliki keberanian mengkritisi, mengoreksi, dan meluruskan kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat.

Lalu bagaimana agar pemilu di Indonesia dapat menghasilkan presiden, wakil presiden, dan wakil rakyat yang mampu menerjemahkan cita-cita founding father bangsa ini? Setidaknya ada tiga hal yang saya ketengahkan dalam catatan ini.

Perketat Seleksi di Tingkat Partai Politik

Partai politik memiliki peran penting menentukan calon presiden, calon wakil presiden, dan calon anggota legislatif. Sayangnya dewasa ini, partai politik masih dikuasai oleh oligarki. Pimpinan partai politik mewajibkan orang-orang yang diusung sebagai kepala negara dan anggota legislatif memiliki penguasaan terhadap sumber daya ekonomi. Pada titik ini, sebagian partai politik akan mengabaikan calon yang memiliki rekam jejak yang bersih, berpengalaman, dan kompetensi yang memadai untuk mengelola negara.

Setiap lima tahun sekali media massa mempertontonkan kepada kita calon wakil rakyat dan kepala negara yang harus menyetor puluhan miliar untuk mendapatkan tiket dari pimpinan partai politik. Tentu saja biaya operasional politik yang mahal menjadi alasannya. Di sisi lain, kebiasaan membagi-bagi uang saat pemilihan berlangsung, telah mendongkrak tingginya biaya yang harus dikeluarkan para calon kepala negara dan wakil rakyat.

Akumulasi dari sekian problem itu membuat calon presiden, wakil presiden, dan wakil rakyat, jarang yang lolos karena telah mengikuti seleksi dari para ahli. Sebab keputusan tertinggi dipegang pimpinan partai politik.

Karenanya ke depan, seleksi dari akademisi yang teruji kredibilitasnya patut dikedepankan sebelum partai politik mengusung calon presiden, wakil presiden, dan anggota legislatif. Seleksi dapat meliputi kemampuan akademis, rekam jejak, dan kompetensi dalam menjalankan tugas kenegaraan.

Klasifikasi Pemilih

Setiap pemilih diberikan hak yang sama di pemilu 2019. Dalam perhitungan suara, suara setiap orang dihitung dengan jumlah yang sama. Pemilih yang tidak pernah mengenyam pendidikan, lulusan sekolah dasar, dan orang-orang yang bergelar profesor, suaranya sama pada saat menentukan pilihan di pemilu.

Padahal kemampuan menelaah dan preferensi menentukan pilihan, pasti berbeda antara pemilih yang bergelar profesor dan pemilih yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Seorang profesor akan memilih seseorang yang benar-benar teruji kualitas, track record, dan pengalamannya di masyarakat.

Sementara sebagian pemilih yang tidak pernah duduk di sekolah formal atau buta huruf, menentukan pilihan karena faktor keluarga, kesukuan, dan iming-iming uang. Tak sedikit pula pemilih dalam kelompok terakhir ini yang hanya bermodal datang ke tempat pemungutan suara, kemudian memilih siapa saja yang dianggapnya menarik.

Dari fenomena itu, kiranya penting agar suara seorang profesor tidak disamakan dengan pemilih pada umumnya. Penyelenggara pemilu, DPR, dan pemerintah dapat merevisi undang-undang pemilu agar ada pembedaan pemilih. Setidaknya suara profesor mesti seribu berbanding satu suara dengan pemilih pada umumnya. Dengan begitu, otoritas profesor lebih tinggi dalam menentukan calon yang ideal untuk mewakili rakyat di legislatif dan eksekutif.

Peningkatan Kapasitas dan Peran Penyelenggara Pemilu

Anggota komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) serta perangkat penyelenggara pemilu di tingkat kecamatan, kelurahan, desa, hingga rukun tetangga, mesti orang-orang yang telah teruji kualitas, militansi, dan rejam jejaknya.

Kapasitas penyelenggara pemilu perlu ditingkatkan. Baik kemampuan teknis maupun pengawasan pelaksanaan kontestasi demokrasi lima tahunan itu. Karena kepastian pelaksanaan pemilu yang bersih, jujur, dan adil, tidak terlepas dari peran KPU dan Bawaslu. Lemahnya kemampuan anggota kedua lembaga tersebut akan berpengaruh signifikan terhadap pelaksanaan pemilu.

Selain itu, peran penyelenggara pemilu dalam melaksanakan tahapan kegiatan dan pengawasan pesta demokrasi, akan berpengaruh pada perbaikan kualitas pemilu di Indonesia. Hal ini harus dimulai dari regulasi yang memberikan kewenangan yang tinggi kepada penyelenggara pemilu dalam pelaksanaan tahapan, pengawasan, dan pemberian sanksi kepada siapa saja yang melanggar aturan pemilu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun