Karena umumnya pemberi beasiswa kerap memberikan penilaian yang tinggi pada kemampuan bahasa asing ketimbang aspek lainnya. Anda tentu masih ingat dengan novelis terkenal Ahmad Fuadi yang telah berhasil mendapat beasiswa di empat benua. Dia mengaku, prestasi itu didapatkan tidak lain karena hasil pendidikan di Gontor.
KH Syamsul Hadi Abdan pernah berujar, santri-santri Gontor dididik mulai dari nol. "From zero to hero," demikian beliau berujar saat pengarahan santri baru pada 2015 silam. Motivasi seperti inilah yang kerap dipegang teguh para pelajar di pesantren yang berdiri di desa yang tak jauh dari pusat Kota Ponorogo itu.
Para pelajar yang awalnya tidak memahami sedikitpun bahasa Arab, setelah enam bulan di pesantren, akan "fasih" berbicara dalam bahasa tersebut. Pengulangan-pengulangan belajar serta kontrol yang ketat, membuat semua santri "dipaksa" berbicara dan menguasai bahasa asing itu. Tak heran, para pelajar lulusan sekolah umum yang masuk di Gontor, dalam penguasaan bahasa, secara "revolusioner" menyamai prestasi santri yang pernah mengenyam pendidikan di madrasah islamiyah.
"Kekacauan" materi belajar hingga bongkar pasang aturan adalah bagian yang membuat bangsa ini lemah dalam bidang pendidikan. Padahal aspek itu menjadi ukuran mutlak dalam pengembangan dan kemajuan bangsa.