Mohon tunggu...
Udo Z Karzi
Udo Z Karzi Mohon Tunggu... -

Tukang tulis. Lebih suka disebut begitu. Meskipun, jarang-jarang dibaca kompasianer. Hehee... Yang penting nulis aza. Biar nggak kenat-kenut...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jejak Islam Lampung dan Problem Penulisan Sejarah

23 Oktober 2017   21:58 Diperbarui: 23 Oktober 2017   22:30 2597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Buku Napaktilas Jejak Islam Lampung karya Muhammad Candra Syahputra & Riyansyah.KAMI, Penerbit Pustaka LaBRAK, Satupena, dan Pusat Dokumentasi Lampung (PDL), baru saja meluncurkan buku Meniti Jejak Tumbai di Lampung: Zollinger, Kohler dan PJ Veth--Lampung Tumbai 2015 karya Frieda Amran di PDL, Langkapura, Bandar Lampung, 14 Oktober 2017 lalu. Buku mengenai Lampung tempo dulu (tumbai, bahasa Lampungnya) ini adalah yang kedua dari Frieda Amran yang antropolog dan pemerhati sejarah sosial budaya yang sangat konsen dengan Sumatera bagian selatan. Sebelumnya, terbit bukunya Mencari Jejak Masa Lalu Lampung: Lampung Tumbai 2014 (2015 dan Edisi Kedua, 2016).

Kedua buku itu, terlepas bahwa ia bersumber pada tulisan ilmuwan, pegawai pemerintah Hindia Belanda dan penjelajah Inggris dan Belanda abad ke-19; menjadi sumbangan penting Frieda Amran bagi sejarah sosial budaya Lampung. Frieda Amran telah berbaik hati menyadur (bukan menerjemahkan!) sumber-sumber berbahasa Belanda kuno yang panjang dan berbelit-belit ke dalam bahasa Indonesia yang enak dan gurih.

Yang saya ingin katakan, betapa sulitnya ketika hendak membicarakan sejarah (sosial budaya) Lampung. Masalahnya terletak pada minimnya referensi (tertulis) dalam bahasa Indonesia (dan bahasa Lampung?). Kata "tertulis" perlu digarisbawahi karena sebagaimana dikatakan Erwiza Erman, "Tak ada seorang pun yang berani membantah sampai kini bahwa sumber-sumber tertulis adalah syarat paling utama untuk menulis sejarah dalam perspektif apa pun. 

Karenanya, para sejarahwan, antropolog atau ilmuwan sosial lainnya yang menggunakan pendekatan sejarah dalam mengkaji isu-isu sosial budaya membutuhkan bukti-bukti tertulis. Maka, mereka tak enggan untuk berlama-lama duduk di arsip dan di perpustakaan, membuka-buka kertas yang sudah berwarna kekuning-kuningan, berdebu, rapuh, dan berbau untuk mencari bukti-bukti tertulis dari sejumlah pertanyaan riset mereka."[1] 

Setelah mengetahui betapa sulitnya menulis sejarah dan menyadari akan keterbatasan diri, maka saya memutuskan hanya menjadi "pembaca sejarah" saja.  Saya heran kalau ada yang menyangka saya telah "menulis sejarah". Terus terang, saya tidak berani menulis sejarah karena tidak kuat mempertanggungjawabkannya secara ilmiah. Makanya saya pun hanya berani memberi judul "Mitos Ulun Lampung" untuk sebuah artikel "sejarah" yang dimuat dalam buku Feodalisme Modern:  Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan[2].

Saya menulis, antara lain dalam bab "Mitos Ulun Lampung" dalam buku itu[3]: "Akan halnya sejarah? Beberapa saat setelah Orde Baru berakhir bermunculan gugatan masyarakat terhadap sejarah (versi pemerintah). Buku-buku baru diluncurkan. Sejarah pun jadi polemik. Asvi Warman Adam (2007)[4] menawarkan beberapa tipologi kontroversi sejarah Indonesia yang disebabkan oleh fakta (dan interpretasi) yang tidak tepat, tidak lengkap, dan tidak jelas." Di sinilah di antaranya letak problem penulisan sejarah sosial budaya Lampung itu.

Karena masalah ini pula, M Harya Ramdhoni seperti ia akui ketika berbincang kepada saya, memutuskan menulis novel Perempuan Penunggang Harimau[5] dan tidak menulis sejarah Kerajaan Sekala Brak.

Secara berseloroh saya berkata kepada Harya Ramdhoni, "Kenapa tidak kau tulis buku "Runtuhnya Kerajaan Sekala Brak Hindu dan Masuknya Agama Islam ke Lampung Barat"?"

Harya menjawab pendek, "Nggak kuat!"

Ya, akhirnya meskipun novel itu diembel-embeli dengan istilah "novel sejarah" dan penuh dengan catatan kaki dari berbagai referensi yang penulisnya temukan dari berbagai sumber kepustakaan, karyanya ini tetap fiksi.

Makanya saya salut dengan, antara lain Syafari Daud yang menulis Sejarah Paksi Pak Sekala Brak.[6]  Begitu pula, saya langsung berdecak kagum dan sangat aprresiatif mengetahui ada buku Napaktilas Jejak Islam Lampung yang ditulis Muhammad Candra Syahputra dan Riyansyah[7] yang kita bahas sekarang ini. Lebih kaget lagi ketika Sekretaris Hari Santri Nasional (HSN) Lampung Idhan Januwarda meminta saya menjadi pembahas buku ini. Apalah saya ini... Tapi, saya memberanikan diri saja untuk sedikit mengomentari karya dua anak muda yang saat ini mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Lampung ini. Salut buat mereka berdua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun