Mohon tunggu...
setiadi ihsan
setiadi ihsan Mohon Tunggu... Dosen - Social Worker, Lecturer.

Menulis itu tentang pemahaman. Apa yang kita tulis itulah kita.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berbahasa, Berbudaya, Berhati-hatilah

29 April 2019   20:49 Diperbarui: 29 April 2019   20:57 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Terinspirasi dari salah satu tulisan di Kompasiana mengenai kekecewaan satu orang yang mengaku sudah tidak muda lagi, sudah bercucu, akan satu tokoh nasional, bapak bangsa, tokoh reformasi, yang akhirnya dia cabut kekaguman kepada idolanya itu, karena perilakunya yang dikatakan sudah menyimpang.

Berikutnya, bagi yang akrab dengan literatur dalam bahasa Inggris, yang mengupas tentang tauhid, maka istilah idolater akan mudah difahami sebagai penyembah berhala atau perilaku menuhankan selain kepada Allah. Demikian juga dengan istilah "idol", diartikan sebagai  berhala/sesembahan.

Nah, dalam literasi Indonesia idola justru banyak digunakan lebih lunak lagi, bukan dalam arti sesembahan/berhala apalagi tuhan, hanya sekedar pujaan karena prestasi atau kelebihan seseorang.

Padahal kamus besar bahasa indonesia (KBBI) telah menjelaskan idola bukan hanya kepada kata benda (noun), orang saja tetapi juga dapat berupa gambar atau patung.
Selengkapnya KKBI menjelaskan sebagai berikut:
ido*la n orang, gambar, patung, dan sebagainya yang menjadi pujaan.

Kesamaan pengertian idola baik dalam KBBI, Wikipedia, di Indonesia atau di Barat, adalah mengenai key words: pujaan.
Dan bicara mengenai "(manusia) pujaan ini", sudah berlangsung lama secara tradisi.
Di antara nabiyullah, ada yang dipuja sampai-sampai disamakan dengan tuhan, ulama yang dikultuskan, selanjutnya kepada filosof, tokoh politik, seniman, artis dan sebagainya.

Dalam konteks idol sebagai sesembahan/berhala, dan idolaters penyembah berhala, maka rancu/ironi juga ketika mengupas kembali kasus tabloid monitor yang kena banned pemerintah karena menyelenggarakan angket "sebisanya, seadanya" tentang "50 Tokoh yang Dikagumi Pembaca Kita."

Angket itu dikatakan sebagai pemicu terposisikannya Nabi Muhammad di urutan ke-11.
Tidak bermaksud mempertanyakan keputusan pemerintah melakukan pembrendelan, tapi yang ingin saya sampaikan di sini adalah tokoh yang dikagumi atau dipuja faktanya memang ada dari diri seorang Nabi.

Bagaimanapun ber-bahasa adalah menuntun kita menjadi berbudaya dan beradab. Bahasa menunjukan Bangsa. "hade ku basa goreng ku basa", begitu masyarakat Sunda memberikan tuntunan untuk berhati-hati dalam berbahasa.

Penggunaan kata idola hanyalah satu dari kasus bagaimana kita seharusnya menggunakan bahasa secara hati-hati. Kadang kita berasa benar, tetapi belum tentu baik secara adat, kultur dan tentunya persepsi si pembaca.

Kembali kepada tulisan di Kompasiana, saya hanya memberikan komentar: "Semoga dengan kejadian ini, bisa mengambil pelajaran, dan kembali kepada "idola hakiki", Laa ilaaha illallaah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun