“Bincang santai di sebuah kedai kopi malam itu berujung pada sebuah wacana untuk ‘naik-gunung’. Berawal dari keinginan untuk mengisi waktu luang menjelang tahun ajaran baru kuliah, seorang kawan yang masih berstatus mahasiswa menawarkan untuk melakukan pendakian singkat – satu hari satu malam. Pilihan jatuh ke salah satu gunung di daerah utara kota Bandung, Gunung Burangrang. Gunung yang terletak di wilayah administratif Desa Kertamanah, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat ini menyimpan sekelumit kisah tentang sejarah pembentukan Bandung. Jadilah hal ini sebagai daya tarik untuk melakukan pendakian di gunung tersebut. Malam itu, Senin, 19 Agustus 2013, saya dan tiga orang kawan lainnya meng-iya-kan wacana tersebut. Tiga hari kemudian, obrolan tersebut kami realisasikan.”
Berdampingan dengan Gunung Tangkuban Perahu, Burangrang merupakan salah satu destinasi pendakian yang cukup menarik untuk dijajal. Medan tempuhnya yang tidak terlalu jauh tetap menyimpan pesona tersendiri. Di beberapa titik pendakian, kondisi jalur terbilang cukup memberi kesan menantang. Setidaknya, para pendaki akan menemui jalur dengan lebar yang tidak lebih dari 1 meter – kondisi di kanan-kiri jalur adalah jurang. Selain itu, beberapa meter menjelang puncak, pendaki juga dihadapkan dengan kemiringan punggungan gunung yang mencapai 60-70 derajat. Konsekuensinya, pendakian dilakukan dengan cara ‘memanjat’. Normalnya, waktu tempuh perjalanan dari pos lapor (pendaftaran) hingga ke puncak Burangrang (2050 mdpl) memakan waktu dua hingga tiga jam. Selama perjalanan tersebut, terdapat beberapa pos untuk beristirahat atau berkemah.
Sekitar pukul empat sore, Kamis, 22 Agustus 2013, saya dan ketiga kawan lainnya memulai perjalanan dari kota Bandung. Dengan menggunakan angkutan kota (angkot) jurusan Caheum-Ledeng, kami berangkat menuju Terminal Ledeng untuk kemudian melanjutkan perjalanan dengan angkot lainnya. Waktu tempuh menuju terminal berkisar antara 10-20 menit tergantung kondisi lalu lintas di jalan. Sesampai di terminal, kami mengambil jalan berbelok ke Jalan Sersan Bajuri (arah Cihideung). Hanya berjarak sekitar 50 meter, terdapat sekumpulan angkot berwarna putih dengan trayek Ledeng-Parongpong. Moda transportasi inilah yang akan kami gunakan untuk meneruskan perjalanan. Sembari menunggu angkot terisi penuh, saya dan seorang kawan menyempatkan diri untuk berbincang singkat dengan penumpang yang duduk bersebelahan. Penumpang ini yang di kemudian waktu memberi salah satu kesan dalam perjalanan hari itu. Menunggu sekitar 10 menit, akhirnya angkot terisi penuh dengan penumpang dan segera bermobilisasi menuju terminal berikutnya, Parongpong.
Perjalanan menuju Parongpong terbilang singkat. Rute ini akan sangat ramai di akhir pekan. Kendaraan bermotor dengan pelat B akan hilir mudik melintasi jalan tersebut. Sebabnya adalah di beberapa titik di Jl. Sersan Bajuri ini terdapat berbagai fasilitas wisata yang sering dikunjungi oleh pelancong dari luar kota Bandung. Area wisata keluarga, perkebunan bunga, villa, sky dining resto and bar, serta komplek perkemahan merupakan rujukan wisata yang ditawarkan sepanjang jalan menuju Parongpong. Salah satu daerah terkenal yang dilewati rute angkot ini adalah Cihideung. Daerah ini terkenal sebagai sentra budidaya berbagai macam jenis bunga.
Langit masih terbilang terang ketika angkot yang kami tumpangi berhenti di sebuah terminal kecil di Parongpong. Dari sini kami akan melanjutkan perjalanan dengan angkutan lainnya menuju Desa Kertamanah. Lagi-lagi kami harus menunggu angkutan terisi penuh. Karena daerah ini bukan lagi sebuah kota, oleh karenanya saya menggunakan kata ‘angkutan’ bukan ‘angkot’ – untuk menjelaskan sarana transportasi yang digunakan. Sambil menunggu, kami membeli beberapa makanan ringan dan minuman untuk bekal tambahan saat pendakian nanti. Tidak lama berselang, angkutan pun segera memulai perjalanannya. Ada dua pilihan rute angkutan untuk mencapai titik awal pendakian ke Burangrang dari terminal ini. Pertama, mengunakan angkutan dengan trayek Parongpong-Padalarang. Kedua, angkutan dengan rute Parongpong-Cimahi. Rute angkutan manapun yang dipilih akan sama saja.
Untuk memulai awal pendakian, kami memilih rute masuk melalui pintu KOMANDO. Pintu masuk ini berada tepat di pertigaan jalan ketika turun dari angkutan. Dari titik ini, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki (bisa juga menggunakan jasa ojek) menuju pos pendaftaran. Matahari sudah terbenam ketika kami sampai di pos awal dan segera melaporkan diri untuk pendakian. Ada dua pos awal yang harus dilalui sebelum pendakian. Pos pertama yang ditandai dengan gapura dikelola oleh pihak Perhutani. Sedangkan pos kedua merupakan pos penjagaan milik TNI yang ditandai pula dengan sebuah gapura bertuliskan Daerah Latihan Gunung Hutan – KOPASSUS. Kami diwajibkan untuk melaporkan diri di kedua pos tersebut. Namun, berhubung karena pos TNI sedang dalam kondisi kosong, kami pun cukup melaporkan diri di pos pertama saja. Perlu diingat bahwa kawasan hutan di Gunung Burangrang sering kali digunakan untuk latihan militer. Konsekuensinya, izin pendakian sangat dibatasi dan tidak menjamin diperbolehkan melakukan pendakian ke puncak. Entah beruntung atau nekat, malam itu kami melanjutkan perjalanan menuju punggungan Burangrang tanpa melaporkan diri secara langsung ke pihak TNI.
Setelah menunaikan ibadah sholat magrib-isya (jamak), kami bersiap diri untuk memulai pendakian. Pukul 19.10, dengan dipimpin oleh seorang kawan, pedakian pun kami mulai dari pos TNI. Jalur pendakian cukup jelas sehingga tidak akan membingungkan para pendaki. Di awal perjalanan ini, kami dihadapkan dengan sejumlah bidang tanah yang biasa digunakan untuk berkebun/berladang. Tidak lama berselang, perjalanan akan memasuki kawasan hutan pinus yang memiliki nama latin Casuarina equisetifolia / Pinus longaeva / Pinus mercusii. Konon kabarnya, hutan pinus ini sengaja di tanam oleh orang-orang Belanda di masa penjajahan dahulu. Tujuannya agar kawasan tersebut dapat memberikan suasana yang serupa dengan negeri mereka. Perjalanan singkat di hutan pinus dilanjutkan dengan memasuki kawasan hutan gunung. Di titik ini, hanya ada satu jalur setapak yang jelas untuk menuju ke puncak. Menurut literatur, kawasan hutan di Gunung Burangrang memiliki berbagai jenis flora seperti Saninten (Castanopsis argantea), Puspa (Scima walichii), dan Rasamala (Altingia excelse).
Sekitar tiga pos istirahat telah kami singgahi sebelum akhirnya pendakian dilanjutkan dengan medan tempuh berupa trek naik-turun. Perjalanan malam hari melewati jalur ini membuat kondisi fisik jadi semakin tidak prima. Di akhir pendakian sebelum puncak, kami dihadapkan dengan sebuah ‘tebing’ berbatu dengan kemiringan yang terjal. Sekalipun tidak terlalu tinggi, tebing/lereng terjal ini cukup berbahaya apabila ada pendaki yang terpeleset dan jatuh. Selepas ‘memanjat’ tebing tersebut, perjalanan menjadi lebih mudah karena jalur yang lebih landai. Lewat beberapa menit dari pukul sembilan malam, saya dan ketiga kawan lainnya sampai di tugu triangulasi, puncak Gunung Burangrang dengan ketinggian 2050 mdpl.
Bidang tanah lapang di puncak Burangrang tidaklah terlalu luas. Apabila digunakan untuk berkemah, dua unit tenda dengan daya tampung 2-3 orang, akan memenuhi tempat tersebut. Berhubung karena malam itu tidak ada rombongan pendaki lain, kami memutuskan untuk berkemah di puncak. Konsekuensinya adalah terpaan angin dini hari yang cukup ‘deras’. Setelah istirahat sejenak, kami segera membagi tugas untuk mendirikan tenda dan memasak. Tidak butuh waktu yang lama bagi saya dan kawan-kawan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Dalam situasi seperti ini, pembagian tugas dan kerjasama adalah hal yang wajib dilakukan. Lepas pukul sepuluh malam, kami memasuki tenda, berbincang santai, dan memutuskan untuk tidur beberapa menit setelahnya. Sekilas, penat yang menghantui segenap rutinitas harian hilang ketika berada di puncak gunung ini.
Menjelang matahari terbit, kami sudah terbangun dari tidur. Masih menyisakan sedikit rasa malas, sebagian dari kami memutuskan untuk keluar. Menikmati udara pagi sembari menyeruput secangkir kopi panas menjadi hal biasa yang ‘tidak biasa’ bagi kami. Sesudahnya, kami melanjutkan kegiatan dengan sarapan pagi sebelum membereskan berbagai perlengkatan untuk ‘turun-gunung’. Pukul sembilan pagi lewat beberapa menit, dengan berdoa terlebih dahulu, kami memulai perjalanan turun dari puncak Burangrang.
Perjalanan kembali menuju kaki gunung terasa lebih cepat namun sama melelahkannya. Sebab, kaki harus menopang gaya-beban lebih besar sebagai akibat dari berat badan yang searah dengan gravitasi bumi. Satu jam berselang, kami sampai di kawasan hutan pinus. Di titik ini kami beristirahat sejenak, menikmati suara gesekan ranting pinus yang diterpa angin semilir dari gunung. Suara beberapa tembakan senjata militer di kejauhan membuyarkan lamunan kami yang baru mulai dibangun. Sadar bahwa jam latihan militer telah dimulai, segera kami pacu langkah untuk segera menuju pos awal. Di pos TNI, beberapa militer sedang melakukan latihan navigasi dasar. Tidak ingin terlihat ‘tidak-beradab’, saya memutuskan untuk menyapa bapak-bapak tentara tersebut. Sekilas, ada terdengar celetukan dari salah seorang tentara yang mempertanyakan kehadiran kami di sekitar lokasi latihan militer. Bukan bermaksud tidak sopan, tapi saya dan seorang kawan memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanan ke pos pertama dan segera pulang ke Bandung.
Hari itu, Jum’at, 23 Agustus 2013, pukul 11.00 saya dan kawan-kawan telah sampai di pintu masuk KOMANDO tempat kami mengawali perjalanan setelah turun dari angkutan. Berhubung karena hari itu adalah jum’at, kami memutuskan untuk sholat jum’at terlebih dahulu sebelum kembali ke Bandung. Menjelang waktu ashar masuk, kami telah sampai di kota Bandung, bersiap untuk kembali pada rutinitas harian. [BOW]
Bandung, 29 Agustus 2013
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI