Mohon tunggu...
Uci Anwar
Uci Anwar Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Karena Hidup Harus Bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perempuan-perempuan Perkasa dari Banten

6 November 2019   21:54 Diperbarui: 6 November 2019   22:20 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama menunggu pemberangkatan kereta rel listrik (KRL) alias commuter Line arah Serpong, hari ini Rabu, 6 November 2019, saya terheran heran. 

Kereta di siang bolong menjelang pukul 11.00 masih melompong di Stasiun Tanah Abang, namun di tiap ujung kursi, tempat duduk favorit saya, selalu sudah ada terisi penumpang. 

Sempat saya telusuri dua gerbong, posisi favorit itu sudah diduduki para perempuan yang berbahasa tubuh lelah, menyender, mencoba tidur, dan seragam membawa keranjang-keranjang besar kosong, atau paling tidak keresek-keresek lusuh, entah apa isinya. 

Mereka mengambil posisi itu untuk memudahkan keranjang mereka dari jangkauan, dengan cara menyimpannya dekat pintu kereta.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Sekilas mudah sekali ditebak, mereka kaum pedagang, menenteng keranjang kosong  tanda dagangan sudah laris manis. Ada seorang yang membuka hp, namun hanya sebentar, hp lalu dia simpan di tasnya, dan mencoba tidur seperti yang lainnya.

Rasa penasaran saya terjawab. Saya beruntung, di Stasiun Palmerah, seorang perempuan berbaju dan berkerudung merah duduk di sebelah saya. 

Dia meletakkan keranjangnya di dekat pintu masuk kereta, di sebelah keranjang milik perempuan yang tertidur di depan saya. Maka berceritalah dia dengan sukarela, setelah sebelumnya meyakinkan saya bahwa dia senang mendapat teman berbincang, dan tidak keberatan tidak tidur di kereta demi rasa ingin tahu saya.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Uriah, demikian nama perempuan manid berusia 48 tahun ini, biasanya membalas waktu tidurnya di kereta, sejak stasiun Palmerah hingga Maja, stasiun tujuannya. 

Dia asli Maja, tepatnya dari kampung Sempureun, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Aktivitasnya sudah sejak pukul 3 dini hari. Menyiapkan barang dagangannya, untuk kemudian bergegas mencegat KRL yang melintas pertama pukul 4.26.

Dua keranjangnya berisi dua jenis barang dagangan. Satu keranjang Peuyeum (Tape Singkong), keranjang lainnya sarat dengan aneka jenis Pisang. 

Barang dagangannya ini akan dijajakannya di pasar Pamerah, Jakarta Barat.  Tepat di bawah tangga naik di pasar tersebut, dia mendapat lapak itu dari teman sekampungnya, yang juga sama sama berdagang di sana.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
"Seueur ti kampung abdi mah nu icalan teh. Tapi aya nu turun di stasiun Sudimara, pasar Tanah Abang, dugi ka Stasiun Duri (Sebenarnya banyak dari kampung saya yang berdagang. Tapi ada yang di stasiun Sudimara, pasar Tanah Abang sampai ke stasiun Duri)," jelasnya.

Macam macam yang dijual para perempuan tangguh ini. Kebanyakan hasil kebun. Tetapi ada juga yang berdagang masakan jadi, khas daerah mereka yakni nasi merah, lauk ikan asin, sambel, bihun dan sebagainya. "Aya bandar na  (Ada bandarnya)" kata Uriah, tentang pasokan bahan bahan dagangan berupa masakan tersebut.

Melihat besar keranjang dan betapa tampak ringkih dan kecilnya perempuan ini, saya menatap ragu. Dia tertawa dan menjelaskan, ada cara untuk mengangkut dua keranjang besar isi dagangan tersebut. 

Di stasiun Palmerah, seorang potter tak resmi bisa disewa tenaganya sebesar 10 ribu rupiah hingga pinggir jalan.  Di pinggir jalan menuju pasar, sudah ada lagi gerobak yang menyambutnya, lagi dengan upah 10 ribu rupiah juga.

"Katutup, da bati na sapoe tiasa 200 rebu. (Ketutup, karena untungnya sehari bisa 200 ribu)," ungkapnya.  Dari "Bati" itulah dia berhasil menyekolahkan ke empat anaknya. Anak pertama telah lulus SMK, anak kedua kelas 2 SMK, anak ketiga kelas 3 SMP dan bungsu baru berumur 9 tahun, masih SD.

"Saya sudah jualan seumur anak bungsu, udah 9 tahun," jelasnya.   Fasilitas transportasi telah membuka kran eknomi bagi penduduk setempat. 

Dengan moda transportasi yang murah ini, sekali jalan ke Stasiun Palmerah hanya 6 ribu rupiah, dia melihat peluang memperbaiki ekonomi keluarganya. 

Semula suaminya buruh sawah dan kebun. Lalu melihat peluang berdagang di kota besar, dia memutuskan mencarikan barang barang dagangan untuk istrinya. 

Berbagai macam jenis pisang ia kepul dari petani, seperti pisang kepok, pisang tanduk , pisang ambon dan sebagainya. Sedangkan tape singkong dibeli dari seorang bandar.

Menurut Uriah, dia hanya berdagang kecil kecilan. "Yang lebih banyak bawa barang dagangan mah dari Rangkasbitung. Malah ada yang pake mobil, biar bisa lebih banyak," ungkapnya.  Dan mereka itu pun para perempuan. 

Dari Kampung Uriah, ia mencatat ada 6 orang yang berdagang seperti dirinya, belum dari kampung- kampung lainnya. Lagi lagi, semua berjenis kelamin perempuan.

Lelah tentu. Tapi rasa berdaya dan bahagia mampu menyekolahkan anak anaknya jauh lebih tinggi, mampu menjadi penebus lelahnya. " Sekarang malah nggak terlalu cape. Nyuci, kerjaan rumah tangga udah dibantu anak anak. 

Dulu pulang langsung masak, nyuci, beres beres. Sekarang pulang mah bisa tidur bentar," kata perempuan yang tamat sekolah dasar ini. Dan dia ingin anak-anaknya kelak mendapat pekerjaan yang tidak terlalu menyita tenaga seperti yang dialaminya sekarang. (Uci Anwar)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun