Mohon tunggu...
UBAIDILLAH
UBAIDILLAH Mohon Tunggu... Pemerhati Bahasa dan Budaya

Menulis adalah cara saya merekam jejak pikiran. Seorang pengajar sekaligus peneliti yang gemar menautkan ilmu dengan realitas sehari-hari. Lewat Kompasiana, saya ingin berbagi catatan, refleksi, dan opini agar tetap terhubung dengan publik yang lebih luas

Selanjutnya

Tutup

Trip

Kitap dan Dunia: Jejak Arab di Turki dan Nusantara

26 September 2025   18:58 Diperbarui: 26 September 2025   19:48 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di Taman depan Masjid Biru dan Hagia Sophia (Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis)

Di jalanan Istanbul, aku membaca papan nama toko sambil mencoba mengeja aksara Latin khas Turki. Di telinga, beberapa kata terdengar akrab, seolah pernah kudengar di Indonesia. Saat itulah aku sadar, jejak bahasa Arab ternyata menyatukan Anatolia dan Nusantara lebih dekat dari yang kusangka.

Ada pengalaman menarik saat berjalan-jalan di Istanbul. Di tengah ramainya kota, saya mendengar kata-kata yang terasa akrab di telinga, meski dengan aksen berbeda: kitap (كتاب kitab), dnya (دنيا dunia), iman (ايمان), hingga du'a (دعاء). Kata-kata ini sama-sama hidup dalam bahasa Turki dan Indonesia, menjadi pengingat bahwa ada satu sejarah panjang yang menautkan Arab, Turki, dan Nusantara lewat bahasa.

Bahasa Turki modern memang banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab, khususnya di era Kesultanan Utsmani. Administrasi, ilmu pengetahuan, hingga budaya sehari-hari tak bisa lepas dari kosakata Arab yang diserap dan diolah sesuai lidah Anatolia. Dari Istanbul, pengaruh itu menyebar ke seluruh wilayah kekuasaan Utsmani. Sementara di Nusantara, Islam membawa serta bahasa Arab lewat dakwah, kitab kuning, dan jaringan ulama. Alhasil, kita mengenal ribuan kosakata Arab dalam bahasa Indonesia: iman, amal, adab, dunia, kitab, hingga istilah-istilah pemerintahan seperti hakim dan majelis.

Jejak itu semakin terasa ketika menapaki jalur trem di Istanbul. Nama-nama pemberhentian yang dilewati bukan sekadar tanda arah, melainkan arsip hidup dari sejarah bahasa. Eminn berasal dari kata Arab amn (), berarti "terpercaya", sesuai dengan identitasnya sebagai pusat perdagangan. Sultanahmet jelas berakar dari kata sultn (), gelar pemimpin Islam yang juga kita kenal di Nusantara. Beyazt berkaitan dengan nama Yazd () dari akar z-y-d, artinya "bertambah". Aksaray berarti istana, dari kata Arab qar (). Sementara Topkap, meski secara harfiah berarti "gerbang meriam" dalam bahasa Turki, tetap terhubung dengan kata bb (), yang berarti pintu dalam bahasa Arab.

Di luar Istanbul, banyak pula kota yang menyingkap pengaruh serupa. Diyarbakr, misalnya, berasal dari diyr (, negeri) dan Bakr (), nama kabilah Arab, sehingga berarti "negeri suku Bakr". Nama ini menjadi saksi pertemuan etnis Arab dengan masyarakat Anatolia. Di sisi lain, Bursa, meski berasal dari nama penguasa Prusias, kemudian hidup berdampingan dengan kosakata Arab yang menekankan perannya sebagai kota dagang.

Kedekatan ini menciptakan semacam jembatan linguistik. Di Indonesia, kita menyebut kitab sebagai buku berisi ilmu; di Turki, kitap adalah buku dalam arti umum. Kita menyebut dunia sebagai tempat hidup; di Turki, dnya pun demikian. Kata iman kita gunakan untuk keyakinan, dan orang Turki juga mengucapkannya sama: iman. Bahkan dua, doa yang kita panjatkan, dalam bahasa Turki sehari-hari juga disebut dua.

Seolah-olah, kata-kata itu menegaskan bahwa bahasa menyimpan peta perjalanan peradaban. Dari Makkah dan Madinah, melalui Baghdad, Damaskus, dan Istanbul, hingga sampai ke Aceh, Demak, dan Ternate, bahasa Arab menjadi medium yang merajut dunia Islam. Ia tidak datang sendirian, tetapi menyesuaikan diri, berbaur dengan bahasa lokal, lalu melahirkan kosakata baru yang kita warisi.

Maka, berjalan di Istanbul bukan hanya perjalanan geografis, tetapi juga perjalanan linguistik. Nama-nama halte trem, kota, dan kata sehari-hari menjadi pengingat bahwa hubungan antara Turki dan Indonesia tidak hanya melalui jalur diplomatik modern, melainkan sudah lama dirajut oleh kosakata yang sama. Bahasa menjadi saksi, bagaimana sebuah peradaban menyebar dan bertahan.

Seperti kata orang Turki: Dnya bir kitap gibidir; seyahat etmeyenler sadece bir sayfa okur. Dunia adalah sebuah kitab; mereka yang tidak bepergian hanya membaca satu halaman. Di Nusantara, ungkapan itu menemukan gema lain: setiap perjalanan membuka cakrawala baru, termasuk perjalanan bahasa. Dan hari ini, di jalur trem Istanbul, gema itu kembali hidup.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun