Mohon tunggu...
Tuti Haggai
Tuti Haggai Mohon Tunggu... Mahasiswi

Mahasiswi Universitas Katolik Santo Thomas Medan, Sumatera Utara, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Program Studi Manajamen

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Beras Oplosan dan Wajah Buruk Etika Dagang di Indonesia

21 Juli 2025   00:30 Diperbarui: 21 Juli 2025   00:30 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber:https://pixabay.com/id/photos/nasi-campuran-beras-beras-basmati-5236375/)


Kalimat itu mungkin menggambarkan dengan tepat wajah kelam dari praktik dagang yang belakangan ini menjadi sorotan publik: kasus beras oplosan. Sebuah tragedi ekonomi yang menunjukkan bahwa kerakusan bisa merusak sendi-sendi kepercayaan masyarakat terhadap sistem perdagangan.

Dalam beberapa pekan terakhir, masyarakat digemparkan oleh terbongkarnya praktik pengoplosan beras kualitas rendah yang dikemas ulang menjadi beras premium. Tak tanggung-tanggung, kasus ini menyeret distributor besar, melibatkan ribuan ton beras, dan menciptakan kepanikan di tengah masyarakat yang merasa dikhianati. Bagaimana tidak? Harganya tinggi, tampilannya meyakinkan, tapi kualitas dan kejujurannya jauh dari layak konsumsi.

Ironisnya, beras---makanan pokok rakyat Indonesia yang menjadi simbol kesejahteraan dan kehidupan---justru menjadi korban dari kerakusan segelintir oknum pelaku usaha. Dalam pandangan mereka, keuntungan adalah raja, sementara kejujuran, tanggung jawab, dan kemanusiaan didepak jauh ke pojok.

Dagangan Laris, Kepercayaan Publik Terkikis

Dalam teori etika bisnis, kepercayaan (trust) adalah aset paling mahal. Ini bukan komoditas yang bisa ditimbang di pasar atau dijual lewat diskon di etalase toko. Kepercayaan dibangun lewat konsistensi, transparansi, dan integritas. Sayangnya, dalam praktik dunia dagang Indonesia yang masih sering dibayangi oleh prinsip "asal laku," etika mudah dikesampingkan.

Kasus beras oplosan ini hanya satu dari banyak wajah buram dunia perdagangan di negeri ini. Kita sudah sering mendengar kasus manipulasi label, pemalsuan tanggal kedaluwarsa, pencampuran bahan makanan dengan zat berbahaya, hingga pengaburan kualitas produk.

Pihak-pihak yang terlibat mungkin bisa meraup keuntungan besar dalam waktu singkat. Tapi yang mereka curi bukan hanya uang konsumen. Mereka mencuri rasa aman, hak atas informasi yang benar, dan bahkan masa depan sektor pangan yang semestinya bisa menjadi tulang punggung kemandirian bangsa. Inilah pelanggaran etika paling fundamental---pengkhianatan terhadap rasa kepercayaan publik.

Dimana Pengawasan?

Pertanyaan penting yang tak boleh diabaikan adalah: bagaimana praktik semacam ini bisa lolos dari pengawasan? Apakah rantai distribusi pangan kita begitu longgar, atau justru ada pembiaran sistemik yang membuat celah etika menjadi jurang pengkhianatan?

Kita memiliki cukup banyak regulasi dan institusi. Ada UU Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Pangan, hingga lembaga seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta Kementerian Perdagangan. Tapi regulasi yang baik tanpa eksekusi yang tegas hanya akan menjadi macan kertas. Sistem hukum dan pengawasan harus ditegakkan secara menyeluruh, tidak pandang bulu, dan bebas dari kompromi.

Namun, kita juga harus mengakui satu kenyataan: etika tidak bisa hanya dipaksa lewat peraturan. Ia harus tumbuh dari dalam. Ia adalah cermin dari nilai-nilai yang hidup dalam diri pelaku usaha. Ketika etika hanya dianggap sebagai formalitas, maka setiap celah akan menjadi peluang untuk berbuat curang.

Etika Sebagai Pondasi Bisnis Berkelanjutan

Dalam dunia bisnis modern, sudah terbukti bahwa etika bukanlah penghambat pertumbuhan, melainkan pondasi dari keberlangsungan jangka panjang. Perusahaan yang menjunjung tinggi etika akan membangun loyalitas pelanggan, reputasi yang baik, dan relasi jangka panjang dengan para mitra usaha. Bahkan investor global kini mulai menaruh perhatian lebih pada aspek ESG (Environmental, Social, and Governance), yang salah satunya adalah integritas dan tanggung jawab sosial perusahaan.

Sebaliknya, bisnis yang dibangun di atas kecurangan tidak akan bertahan lama. Mereka mungkin cepat tumbuh, tapi seperti menara yang dibangun di atas pasir, mereka rentan ambruk. Kasus beras oplosan bisa jadi hanya awal dari runtuhnya kepercayaan publik terhadap merek atau distributor yang terlibat. Dan saat kepercayaan sudah hilang, tidak ada promosi, diskon, atau pencitraan yang bisa menyelamatkan bisnis itu kembali.

Menjadi Konsumen yang Cerdas dan Kritis

Di tengah kenyataan pahit ini, masyarakat sebagai konsumen tidak boleh pasrah. Kita harus menjadi lebih cerdas dan kritis. Kita tidak bisa hanya menilai produk dari tampilan luar atau label yang mengilap. Kita harus mulai menanyakan dari mana produk itu berasal, bagaimana proses produksinya, dan siapa yang bertanggung jawab atas kualitasnya.

Kesadaran kolektif dari konsumen bisa menjadi tekanan sosial yang mendorong pelaku usaha untuk lebih bertanggung jawab. Kita punya kekuatan lewat pilihan yang kita buat di rak-rak supermarket. Kita juga punya suara, baik di media sosial maupun dalam forum-forum publik. Dan ketika kita bersuara, kita bukan hanya membela hak kita---kita sedang memaksa sistem untuk berubah.

Kita harus menuntut transparansi dan akuntabilitas. Kita perlu mendorong labelisasi yang lebih jujur, audit berkala terhadap distributor, dan keterlibatan masyarakat dalam pengawasan mutu pangan.

 Cermin Buram yang Perlu Diperbaiki

Kasus beras oplosan bukan hanya kasus pidana---ini adalah refleksi dari budaya bisnis yang masih menganggap kejujuran sebagai pilihan, bukan kewajiban. Ini adalah alarm keras bagi pemerintah, pelaku usaha, dan kita semua untuk mengevaluasi kembali nilai-nilai yang mendasari dunia dagang kita.

Kita tidak bisa hanya marah sesaat, lalu lupa ketika kasus ini tenggelam oleh berita baru. Diperlukan reformasi yang mendalam: sistem pengawasan yang lebih ketat, pendidikan etika bisnis sejak dini, dan insentif bagi pelaku usaha yang berani menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran.

Karena dalam dunia dagang, jujur bukan pilihan---itu kewajiban. Dan dalam bisnis, beretika bukan kelemahan---itu kekuatan.

Mari kita rawat dunia dagang kita dengan integritas. Karena pada akhirnya, bangsa yang besar bukan hanya karena ekonominya tumbuh, tapi karena nilai-nilai moralnya kokoh.

Opini ini ditulis di bawah bimbingan Ibu Helena Sihotang, S.E., M.M.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun