Sampah merupakan sisa kegiatan konsumsi atau produksi yang biasa berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan Tempat pengelolaan Sampah Terpadu (TPST).
Meskipun dijanjikan untuk diolah, faktanya kebanyakan sampah hanya dibiarkan menumpuk di lahan terbuka. Alhasil beberapa TPA terpaksa ditutup karena kelebihan muatan, seperti yang terjadi pada TPA Piyungan Jogja dan TPA Suwung Denpasar.
Belum lagi permasalahan lingkungan yang dihasilkan TPA/TPST seperti bau busuk, pencemaran air tanah, serta penyakit pernapasan dan kulit menambah deretan panjang permasalahan tentang sampah.
Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) 2024 milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), terdapat 34,2 juta ton timbulan sampah dari 317 kabupaten/kota. Dari jumlah tersebut, hanya 59,74% yang terkelola, sisanya sebanyak 40,26% merupakan sampah yang tidak terkelola atau sekitar 13,7 juta ton per tahun.
Padahal sampah memiliki potensi besar untuk dikelola menjadi beberapa olahan yang memiliki nilai jual. Misalnya sampah sisa makanan yang dapat diolah menjadi kompos atau biogas, kemudian sampah plastik yang bisa diolah kembali pada industri daur ulang plastik, dan yang terbaru adalah sampah yang dijadikan bahan bakar dalam Pembangkit Listrik Tenaga Sampah alias PLTSa.
Baca juga: Ironi Hidup Berdampingan dengan Sampah
Mengenal PLTSa, Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
Konsep Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) sebenarnya hampir mirip dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), yaitu menggunakan pembangkit termal, di mana energi panas diubah menjadi energi listrik.
Bedanya, jika PLTU menggunakan batu bara sebagai bahan bakar, PLTSa menggunakan sampah sebagai bahan bakar untuk memanaskan air yang kemudian uapnya dipakai untuk memutar turbin yang menghasilkan listrik.
Sebelum dibakar, sampah terlebih dulu dipadatkan menjadi pelet dengan teknologi Refuse Derived Fuel (RDF). Pemadatan ini bertujuan untuk mengurangi kadar air pada sampah sekaligus memilah bahan yang bisa dijadikan pelet RDF maupun yang tidak.
Puing bangunan dan logam umumnya tidak dipakai karena sulit terbakar. Kertas, kayu, dan kardus adalah contoh sampah yang bisa dijadikan pelet RDF karena mudah terbakar alias mengandung kalor yang tinggi.
Baca juga: Sampah Lokal Overload, Mengapa Indonesia Tetap Mengimpor Sampah?
Di Indonesia, PLTSa Benowo di Surabaya merupakan pembangkit listrik pertama dan terbesar yang bertenagakan sampah.