Halo, Kompasianer! Masih kenalkah kamu dengan kantor pos dan benda-benda terkaitnya seperti prangko?Â
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, prangko diartikan sebagai tanda pembayaran biaya pos. Bentuknya yang paling umum adalah persegi, namun tidak jarang juga prangko yang berbentuk persegi panjang maupun lingkaran.
Si kecil yang sering menghiasi bagian luar amplop ini konon menjadi primadona bagi beberapa orang. Adalah filatelis, sebutan bagi si penggemar sekaligus pengumpul benda-benda pos, seperti prangko dan materai.Â
Meski bentuknya kecil dan imut, di tangan filatelis, prangko bisa dihargai selangit lho.Â
Salah satu penyebabnya adalah gambar dan nominal dalam prangko yang kerap berganti sehingga membuatnya menyimpan nilai historis.
Beberapa contoh prangko edisi khusus yang pernah terbit di Indonesia adalah prangko Asian Games 2018, prangko film Dilan 1990, dan prangko pasangan Presiden bersama Wakil Presiden periode 2019-2024.
Pengalaman pertama membeli prangko
Jika kamu merasa tidak begitu mengenal prangko atau bahkan tidak pernah membelinya, tenaaangg kamu tidak sendirian. Sebagai generasi 90an, saya juga mengaku sangat gaptek dengan prangko.
Meski rupanya sering saya temui di internet, namun pengalaman membeli prangko pertama kali baru saya rasakan setelah 23 tahun hidup. Ya, kalian tidak salah membaca!
Postcrossing adalah sebuah wadah dimana kamu dapat mengirim dan menerima kartu pos di seluruh dunia.
Sebagai syarat mendaftar, kamu diwajibkan mengirim 5 kartu pos ke alamat acak yang telah ditentukan oleh Postcrossing. Baru setelah itu, akunmu akan diregistrasikan dan kamu akan mendapat kartu pos 'kejutan' dari sesama pengguna Postcrossing di seluruh dunia.
Sebagaimana kartu pos, maka pengiriman pun harus diserahkan melalui kantor pos dan prangko. Maka dimulailah petualangan saya untuk memburu benda kecil nan imut ini.
Harga prangko
Jika kamu merupakan pemula seperti saya, jangan takut apalagi bingung dengan masalah harga.
Harga yang tertera pada prangko adalah harga yang sama yang harus kamu bayar kepada petugas pos. Prangko Rp 5.000 harganya Rp 5.000; prangko Rp 3.000 harganya Rp 3.000 ; begitu pun seterusnya.
Namun perlu diingat bahwa harga setara hanya berlaku untuk prangko umum yang dibeli di kantor pos. Untuk prangko yang dibeli dari tangan kedua, seperti pasar daring, biasanya terdapat penambahan harga karena telah terjadi pengambilan keuntungan.
Apalagi yang kamu beli adalah prangko edisi khusus, wah siap-siap bersaing harga dengan si filatelis!
Tarif pengirimanÂ
Setelah mendapat prangko, hal lain yang sering menimbulkan tanda tanya adalah,
"berapa prangko yang harus kita tempelkan agar surat kita sampai ke penerima?"
Pertanyaan ini juga sempat menggelayut di pikiran saya selama beberapa saat. Apalagi dalam Postcrossing, saya harus melakukan pengiriman ke luar negeri.Â
Ada rasa kekhawatiran akan mahalnya tarif yang akan saya bayar nanti, namun saya memilih untuk memasrahkannya saja ke kantor pos.
Beruntung sebelum saya benar- benar pergi ke kantor pos, seorang teman memberi tahu saya untuk mengecek tarif prangko terlebih dulu, salah satunya melalui blog Rufindhi.
Dari blog tersebut, saya mendapat informasi bahwa tarif prangko telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika RI nomor 29 tahun 2013.Â
Peraturan ini mengatur tentang tarif layanan pos universal, baik itu ke dalam maupun luar negeri.Â
Kebetulan saya mendapat alamat kirim ke Amerika, yang mana memerlukan prangko senilai Rp 8.000,-.
Namun, ketika saya datang ke kantor pos dekat rumah dan menanyakan tarif kirim kartu pos tersebut, si petugas langsung mematok harga sebesar Rp 20.000,-.Â
Perbedaan tarif yang cukup besar ini membuat saya kaget sekaligus terheran.Â
"Bukankah di peraturan menteri, tarif yang dikenakan hanya delapan ribu?" tanya saya kepada si petugas.Â
Namun dengan tegas, petugas itu mengelak. "Enggak mba. Peraturan itu sudah nggak berlaku. Sekarang harus 20 ribu, kalau nggak segitu bisa-bisa kartunya dikembalikan."
Pengembalian kartu pos memang biasa dilakukan apabila prangko yang ditaruh tidak cukup. Namun ini bukan perihal cukup dan tidak cukup, melainkan pemberlakuan tarif yang tepat atau tidak tepat.
Beralih ke kantor pos kota
Setelah dibuat terheran dengan salah satu kantor pos dekat rumah, saya pun beralih ke kantor pos kota. Berharap jika di kantor pos kota, peraturan tarif layanan pos akan diberlakukan dengan bijak.
Saya pun kembali bertanya mengenai tarif yang semestinya berlaku melalui peraturan menteri. Namun lagi-lagi petugas itu mengelak.
"Tarif itu sudah nggak berlaku mba. Kemarin baru saja ada yang kirim ke Amerika dan tarifnya 14 ribu, jadi saya masih ingat," kata petugas pos itu sembari mengecek tumpukan paket.
Merasa frustasi saya akhirnya memberanikan diri untuk menanyakan tarif terbaru. "Oh jadi sekarang tarifnya sudah update ya mas, boleh saya minta peraturan menteri yang baru?"
"Mm.. tarif yang baru saya nggak punya sih mba, sebentar saya tanyakan," jawab petugas tersebut dengan agak kikuk, lalu langsung bertanya ke teman di sebelahnya.
Setelah berbincang dengan si teman, petugas pos tersebut kembali mendatangi saya dengan print out peraturan. Dan betapa terkejutnya saya ketika melihat peraturan yang sama yang telah saya tunjukan padanya, ya peraturan menteri nomor 29 tahun 2013!
"Ternyata masih berlaku peraturan yang ini mba," tukas petugas tersebut, sembari tersenyum maaf.
Saya yang merasa menang langsung tersenyum lebar. Aaah, betapa leganya karena telah berhasil mengirim kartu pos dengan tarif yang semestinya.Â
Sayang sekali, berdasarkan pengakuan si petugas pos, tampak banyak korban yang telah berjatuhan akibat tarif yang tidak sesuai ini. Padahal tarif yang ditawarkan bisa setara dengan dua hingga tiga kali lipatnya. Apakah itu bukan suatu bentuk kerugian?
Oh, duhaiii kantor pos, tolong jangan bohongi tarif prangko kami lagi. Karena... dibohongi itu sakit!Â
--
Tutut Setyorinie, 2 Maret 2021.