Entah sudah berapa kali saya menemukan puisi ini tersebar di berbagai lini media, baik itu di media sosial, pentas seni hingga ke undangan pernikahan. Ibarat masakan, puisi ini memiliki cita rasa yang pas. Tidak terlalu menggebu-gebu, tapi tidak juga hambar.Â
Puisi Aku Ingin juga secara tidak langsung telah menggambarkan sosok Sapardi yang memiliki jiwa romantis. Hanya saja, keromantisan Sapardi berada di level yang berbeda.Â
Ya, jika selama ini kita mengenal romantis dengan kalimat sayang, bisikan rindu atau ucapan selamat tidur yang manisnya kelewatan, tapi tidak bagi Sapardi.Â
Sastrawan kelahiran 20 Maret 1940 ini justru menjelaskan bahwa hal paling romantis yang dapat dilakukan seseorang, justru timbul dari sesuatu yang sederhana. Mencintai dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api. Mencintai seperti isyarat yang disampaikan awan kepada hujan. Maka wanita mana yang tak jatuh hati ketika diucapkan seperti ini.
Selain di puisi Aku Ingin, keromantisan Sapardi juga terlukis dalam salah satu bait pada puisi Dalam Doaku.
Aku mencintaimu. Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu. (Sapardi Djoko Damono, 1989)
Bagi sebagian orang, mendoakan keselamatan mungkin tampak sebagai sesuatu yang sepele. Tapi lihat bagaimana Sapardi menyulam kata itu dalam bait puisi. Sesuatu yang sepele, sesuatu yang amat sederhana, menjelma menjadi kalimat ciamik nan romantis. Walau puisi ini bukan diciptakan Eyang untuk saya, tapi saya turut meleleh ketika membacanya.Â
Jadi tidak salah bukan, jika saya mengatakan Eyang Sapardi adalah sosok romantis pada level yang berbedalevel luar biasa!
Tabah adalah kunci kehidupan
Selain romantis, Sapardi juga menjelaskan tentang pentingnya memiliki sikap tabah dalam menjalani kehidupan. Hal ini tertera pada puisinya yang pada beberapa waktu lalu diangkat ke layar lebar, ya Hujan Bulan Juni.
Tak ada yang lebih tabahÂ
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunyaÂ
kepada pohon berbunga ituTak ada yang lebih bijakÂ
dari hujan bulan Juni
dihapuskannya jejak-jejak kakinyaÂ
yang ragu-ragu di jalan ituTak ada yang lebih arifÂ
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapÂ
diserap akar pohon bunga itu (Sapardi Djoko Damono, 1989)
Hujan Bulan Juni bagi saya adalah pelajaran hidup tentang alangkah baiknya memiliki sifat tabah, arif dan bijak. Hal ini bisa mencakup banyak hal, seperti menahan rindu kepada seseorang, menyembunyikan kata, serta menghapus segala bentuk prasangka dan keragu-raguan.