Mohon tunggu...
Siska Tutur
Siska Tutur Mohon Tunggu...

Saya Fransiska Tutur Kusumastuti.Kuliah di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jakarta. Hobi saya banyak, namun paling suka mendengarkan musik dan berkhayal. Ingin sekali bisa mengeliligi Indonesia, dengan ragam suku budaya dan alamnya yang menakjubkan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

8 Penjuru Mata Angin dan Negeri di Atas Awan

21 September 2011   07:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:46 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_136316" align="aligncenter" width="300" caption="Puncak Gunung Slamet"][/caption] [caption id="attachment_136902" align="aligncenter" width="300" caption="Kontur medan saat menuju ke pos terakhir, atau batas vegetasi. Foto diambil oleh Baray. "][/caption] Perjalanan kami berawal dari sini. Pertigaan Yomani merupakan langkah awal yang akan membawa kami ke negeri di atas awan. 8 penjuru akan menginjakkan kaki pertama kalinya di puncak berpasir dengan semburan gas berbahaya.

Imam kharmain, Slamet Sandi, Gilang Wana, Dimas Setiawan, Muhammad Ichsan, Prasetyo, Fransiska Tutur, dan Janet Swastika. Kami adalah 8 penjuru mata angin yang bertolak dari Jakarta menuju puncak tertinggi kedua di Pulau Jawa, Gunung Slamet. Seperti hembusan angin utara, pendakian dimulai dengan penuh semangat dan jantung berdebar.

Perjalanan dimulai dengan melintasi medan berbatu sampai batas perkebunan warga. Kami berjalan perlahan berirama. Sekali nafas terenggal, kami memberhentikan langkah sejenak. Keringat mengucur deras karena saat itu matahari sedang bersahabat. Di pos pertama, kami beristirahat untuk makan. Menu andalan kami disetiap pendakian adalah orek tempe dan kacang serta teri, yang dimasak oleh neneknya Pras.

Mendaki gunung ini penuh  kekhawatiran. Di tengah menembus belantara hutan yang masih asri, terbesit mitos-mitos setempat dan ancaman hewan buas, namun tidak menghentikan semangat ini. Bersama dua senior kami, Baray dan Deby, mereka membantu kami melewati setiap rintangan. Tak terasa, perjalanan yang dimulai pagi hari kini berganti malam. Belum sampai di pos empat, kami memilih beristirahat. Dengan cepat kami membangun tenda dan membuat api unggun. Dingin begitu menusuk. Baju yang basah karena keringat, menambah kedinginan kami.

Nasi tanak, sop, serta telor dadar dan tempe tepung, menjadi makan malam kami. Suara memercik minyak panas ketika di masuki tempe berbalut terigu, suara air kaldu yang mendidih, serta percikan-percikan api unggun yang menimbulkan bunyi khas, menemani sepinya malam kala itu. Tambahan canda tawa kami si 8 penjuru mata angin menambah hangatnya malam.

Pagi datang, kini berganti hangatnya sinar matahari pagi yang masuk melalui celah-celah pepohonan. Elang Jawa terlihat terbang di atas kami. Perjalanan kami lanjutkan. Mendaki gunung berapi di musim kemarau mengharuskan kami untuk menggunakan air seefektif mungkin. Sumber air hanya kami peroleh di kaki bukit dan pos empat.

Medan terasa berat setelah melewati pos empat. Akar-akar pohon memenuhi jalan setapak, sampai kami harus berjalan jongkok agar bisa melewati terowongan-terowongan akar. Jalan menanjak dan terus menanjak, membuat kami harus terus berhenti. Mengatur nafas dan membasahi tenggorokan yang cepat sekali keringnya. "Satu...dua...tiga...! Hu...uh!!!" terdengar teriakan dari rekan yang terlebih dahulu dari saya. Teriakan itu penuh maksud. Benar saja, ketika saya menghampiri mereka, medan yang lebih berat ada di depan mata kami. Itulah salah satu candaan kami. Naik gunung jangan dibawa susah, nikmati saja. Celetukan, candaan, kadang hanya saling terdiam karena kami sama lelahnya.

Akhirnya kami sampai di pos lima, pos terakhir berupa batas vegetasi. Suasana berbeda kali ini. Bukan kerapatan pohon-pohon yang kini kami lihat, melainkan puncak pasir yang dipenuhi batu-batu besar. Sambil persiapan summit di esok paginya, kami membangun tenda dan mulai memasak.

Pukul lima pagi hari, dingin sangat menusuk, membuat semangat 8 penjuru mata angin menurun. Dinginnya pagi terus membuai kami untuk tetap berada di sleeping bag. Tidak mau terlena oleh dinginnya pagi, Slamet Sandi yang saat itu sebagai ketua perjalanan membangunkan kami dengan sabarnya. Setelah semua peelengkapan yang akan dibawa Summit telah lengkap, kami berkumpul dan memanjatkan doa.

Bukan pijakan tanah padat yang kali ini kami injak, melainkan pasir dengan batu-batu besar berserakan di sekeliling kami. Dengan kehati-hatian tinggi, kami harus pintar memilih pijakan agar tidak terjadi longsor kecil yang nantinya akan membahayakan orang di bawah kami. Terus menanjak dan menanjak, hanya itu yang kami lakukan, sehingga tubuh tidak bisa lagi berjalan tegak. Kemiringan lereng kini begitu terasa.

Ketika mata hanya tertuju ke depan, ada pemandangan yang begitu menakjubkan ketika kita membalikkan badan. Hijau dan Biru. Hijaunya hamparan hutan, dipadu birunya cakrawala, sungguh membuat hati damai bagi siapa saja yang melihatnya. Dari jauh terlihat puncak Ciremai, menyembul malu diantara gumpalan awan. Di sisi sebelah kiri terbentuk bayangan Gunung Slamet yang bagai fatamorgana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun