Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[My Diary] Tolong Kau Simpan Rahasia Ini!

12 April 2016   20:46 Diperbarui: 12 April 2016   22:03 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Joker | sankart.deviantart.com"][/caption]Halloo Diary.

Setelah berpuluh tahun berlalu kisah ini terpendam dalam kotak ingatan yang berdebu. Sengaja saya relakan berdebu karena tak pernah membersihkannya dengan mengingat kenangan yang disimpan di dalamnya. Tapi hari ini saya memilih memindahkan kotak ingatan ini ke dalam lembar putihmu yang masih bersih. Sebab saya merasa besok tidak akan lagi menemui pagi.

Satu saja pesan kepadamu, tolong simpan cerita ini baik-baik. Sudah puluhan tahun saya menyimpannya seperti menjaga nafas sendiri.

Ini tentang seorang gadis dan puisi. Gadis yang ketika ia membelakangi matahari pagi, cakrawala menjadi gelap, seolah kembali pada subuh. Atau ketika ia berdiri di depan senja, tiba-tiba saja seluruh horizon menjadi kabur. Ini juga tentang puisi yang membakar saya hingga hilang dari bumi.

Apakah ia berbadan tinggi dan besar sehingga matahari tertutup sedemikian sempurna? Apakah puisi itu seperti mantra yang memanggil jiwa-jiwa yang celaka?

Tentu saja tidak. Matanya Diary, matanya. Dalam matanya, matahari seperti terbit di sana. Kau tahu artinya? Ia telah menjadi matahari itu sendiri. Dalam matanya, saya menjumpai cakrawala atau horizon yang lepas. Dari matanya, saya melihat masa depan apa yang akan saya jalani.

Dan puisi itu sendiri? Ia hanyalah puisi berani yang tidak suka basa-basi.

Semua bermula ketika saya harus mendapat panggilan ke ruangan Bimbingan Konseling.

Pada kali kesepuluh saya memenuhi panggilan guru yang selalu cemas dengan apa yang tidak biasa saya lakukan. Padahal bukan jenis pelanggaran yang merusak tatanan moral atau pengetahuan. Saya hanya melakukan sesuatu yang menjaga diri dari kejenuhan menghafal, menghafal dan mencatat lalu menunggu hafalan saya diberi angka berapa.

Kau tahu apa pelanggaran yang sering membawa saya berkunjung ke ruang konseling?

Saya suka sekali membaca puisi di bawah pohon jambu mete di belakang kantin sekolah. Setiap jam istirahat atau sedang kosong, saya pasti berdeklamasi. Mula-mula saya ditertawakan, tentu saja. Lama kemudian, dibiarkan. Mereka mungkin berfikir saya sedang gila. Gila karena salah masuk jurusan. Gila karena takkuat menampung beban pelajaran. Tapi saya tidak peduli. Saya tidak membaca puisi untuk didengarkan. Membaca puisi adalah cara saya membebaskan imajinasi dari menghafal-menghafal dan mencatat. Imajinasi saya menolak diangka-angkai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun