Emon masih gundah gulana.
Ia masih belum bisa menerima fakta bahwa hari-hari ke depan akan hidup bersama Mika. Ia masih tidak percaya kalau urusan beginian tidak selalu perkara yang bisa direncanakan A sampai Z-nya. Terlebih lagi, di hari ketika tubuh cekingnya terjun ke sungai di tengah warga kampung yang berjejal sesak, ia masih belum tahu siapa tersangka yang mendorongnya. Sementara kepala desa terus saja mendesak untuk menyepakati waktu yang tepat melangsungkan hajatan. Menikah.
Emon merasa tak berdaya atas kebetulan-kebetulan yang membentuk jalan nasibnya.
“Mon, sadarkah kau jika kau adalah orang yang dipilih. Sadarkah kau jika hari yang kau anggap naas itu adalah pintu kebahagiaan masa depanmu?” tanya kepala desa sore itu. Sambil berkedip mengingatkan kalau ada 1999 lelaki yang patah hati karena gagal memenangkan masa depan kembang desa merka. Mereka dikalahkan Emon yang untuk hidup bertahan melawan dingin pos ronda setiap malam.
Terpilih dari Hongkong. Sayembara laknat! umpat Emon dalam hati.
“Kau harus segera menyetujui hari baik yang sudah pak Imam usulkan. Jangan tunda lagi. Jangan sampai Mika berubah pikiran.”
Hadeeeh, suruh pak Imam saja yang jadi suami Mika, umpat Emon lagi.
“Jadi gimana Mon?” desak kepala desa. Kini dengan tekanan sepersis debt collector.
“Atur baik saja Pak.”
“Atur baik gimana?”
“Ya diatur menurut mau bapak dan pak Imam.”