[caption caption="Foto dok.pribadi"][/caption]
Raisa menyadari betul bahwa ia telah terbenam dalam pertentangan diri yang melelahkan. Sebagai mahasiswi pengikut Plato tingkat empat, seharusnya kondisi seperti ini sudah lama dihancurkannya. Naas, sampai detik dimana ia mempelajari kritisisme Modern, pada hatinya Sarwo tidak pernah benar-benar pergi.
Sarwo, pemuda funky. Penganggur yang menjaga martabat sebagai pedagang buku bekas. Sarwo selayaknya Ang dalam kronik Avatar, sang penguasa angin: datang meneduhkan gerah lalu tetiba pergi tanpa pesan. Sesekali seperti puting beliung yang meremuk rindu, sekejap berubah sepoi-sepoi teduh yang membelai gerah nyiur.
Raisa terjebak jatuh hati sekaligus darah tinggi!
“Kau terlalu tunduk pada kuliah-kuliahmu, Isa,” ledek Sarwo suatu waktu.
Raisa makin kesal. Mahasiswi filsafat kok tak rasional.
“Kenapa? Kamu malu sama ilmumu? Sepetirnya kau membutuhkan pengalaman sakitnya patah hati. Kierkegard barangkali?” ledeknya bersama tawa yang memecah emosi.
“Selera humormu buruk!” maki Raisa. Pergi bersama desis, kobra betina yang terhina.
Begitulah, lelaki angin itu selalu bisa meremuk dirinya. Menjengkelkan tapi ngangeni. Bikin keki tapi muncul dalam mimpi-mimpi. Celakanya, pedagang buku bekas ini seolah tahu berada dalam posisi itu. Bukan saja memahami jika memiliki kuasa, juga mahir mempermainkan suasana hati Raisa seringan pendulum. Dari satu ruang kosong ke ruang kosong di hati Raisa, ia menggoyang hening sesak kangen.
Tak berdaya, itu satu-satunya yang makin terang pada kesaksian sunyi hati.
Mengapa aku tidak menyepakati hubungan yang khusus saja? Sepasang kekasih, tegasnya?