Ada 101 pelaksanaan pilkada di tahun 2017. Namun hanya satu—atau dibuat satu-satunya-- yang berisik di televisi, koran-koran, media online, juga linimasa twitter dan status facebook. Satu-satunya itu siapa lagi kalau bukan DKI Jakarta?
Ternyata di era ketika globalisasi bersenyawa dengan sempurna bersama 'pasar' yang pernah disebut-sebut oleh pemikir plus praktisi bisnis berkebangsaan Jepang--Kenichi Ohmae sebagai ancaman terhadap eksistensi negara-bangsa, Jakarta terus dipaksa menjadi pusat menghadapi arus “decentering subject”. Jakarta terus dipaksa menjadi mega-kota yang mewakili pusat ekonomi, politik, juga wacana. Seolah saja, jika Jakarta membaik maka kita dapat berharap republik dengan lansekap kepulauan ini akan membaik pula.
Dalam pemaksaan melawan arus besar itu, saya justru melihat Jakarta yang mengenaskan.
Jakarta adalah pusat yang mengalami “aksi sado-masokis politik” sejak zaman kolonial hingga hari ini. Tubuh sosialnya berkali-kali dihajar oleh syahwat politik dan ambisi-ambisi ekonomi yang setiap hari bertarung dan menjadi nafas hidup warganya. Tubuh kulturalnya berkali-kali menjadi koloni dari citra-citra konsumtif dan adu pamer kelas yang menari-nari di lansekap ketimpangan ruang. Kau boleh bilang, Jakarta telah menghidupi dirinya tanpa ideologi cinta untuk membangun kota sebagai ruang hidup yang makin manusiawi bagi siapa pun.
Barangkali karena itu, di Jakarta, ibu kota yang seperti gurita dengan tentakel penghisap surplus ekonomi ke mana-mana, 'orang-orang terbaik' diajak bertarung merebut kuasa (formil) dalam kelola kota. Orang-orang terbaik yang dibayangkan boleh memberi harap dan sentuhan bahwa kota ini masih memiliki kesempatan dan cara menjadi manusiawi. Orang-orang yang dibayangkan boleh membuatnya memiliki peradaban, bukan sekadar menara-menara angkuh, kemacetan, polusi, banjir, kemiskinan dan kriminalitas jalanan yang tumbuh lebih keras hati dari alang-alang.
Sejak jauh hari, Norbert Ellias telah mengingatkan jika peradaban berkaitan dengan kehalusan psikologis. Hal mana dapat bermakna makin berkembang peradaban, manusianya makin manusiawi, makin sadar akan krisis ekologi, makin kritis terhadap libido ekonomi dan gaya hidup, makin kritis terhadap syahwat berkuasa yang liar, dan, makin konsisten menyediakan dirinya membangun kebaikan bersama (bonnum commune).
Ini juga sama mengatakan jika membangun peradaban adalah menghidupkan ruh kemanusiaan yang menjadi api dalam sanubari warga kota, baik politisi, pebisnis, artis, agamawan kampung, karyawan rendah, pemulung, tukang cuci, pembetul payung rusak, tukang sol sepatu, perantau yang sedang belajar, penjaga pintu kereta, pengemis yang lebih dramatik dari pemain teater, hingga pengangguran berijazah yang sering nongkrong di kantor-kantor partai politik.
Tidakkah kau menyadari jika percakapan tentang pentingnya spirit berperadaban ini makin hari makin lesap di depan musim pemilu?
Coba lihat kembali kecenderungan di media massa.
Menjelang pilgub, yang melimpah ruah dikembangkan adalah logika kalkulatif atas politis. Logika instrumentalis kepada politik. Logika yang tumbuh mula-mula dalam penemuan Weber atas spirit kapitalisme. Logika yang kemudian meluas, menjadi kuasa pengatur dalam ruang hidup manusia, dan secara ironis, menjadi 'anak kandung pencerahan' yang durhaka: ia membunuh manusia yang setengah mati dilahirkan kembali dari kukungan teologi yang naïf.
Akhirnya, kita juga dipaksa-paksa untuk berjibaku pada cara memaknai yang sama. Menjadi bagian yang seragam dengan apa yang dibutuhkan oleh perluasaan logika instrumentalis itu: adu canggih hitung-hitungan dalam judul besar menang dan kalah, pro dan kontra, pecinta dan pembenci. Kita dipaksa-paksa untuk menjadi 'politisi dari pinggiran' yang tak jarang lebih siap bunuh-bunuhan ketimbang mereka yang sesungguhnya sedang berebut. Tragis!